JAKARTA, KOMPAS — Modal asing terus mengalir ke pasar keuangan dan pasar modal Indonesia pada bulan-bulan awal 2019. Kondisi ini menjadi faktor utama penguatan nilai tukar rupiah.
Bank Indonesia (BI) mencatat, sebanyak Rp 49,6 triliun modal asing masuk ke Indonesia sejak awal Januari hingga 7 Februari 2019. Dari jumlah itu, sebanyak Rp 32,4 triliun masuk ke surat berharga negara (SBN), Rp 15,1 triliun di pasar saham, dan Rp 2,1 triliun di Sertifikat BI (SBI).
Gubernur BI Perry Warjiyo saat ditemui di Jakarta, Jumat (8/2/2019), mengatakan, selain investasi portofolio, penanaman modal asing (PMA) diperkirakan juga akan meningkat pada tahun ini. Pemerintah telah memberikan insentif pajak dan mereformasi regulasi untuk mendorong PMA, seperti di bidang infrastruktur, pariwisata, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Aliran modal tersebut menunjukkan kepercayaan investor luar negeri terhadap perkembangan pasar keuangan domestik. Ini juga menjadi salah satu faktor pendorong penguatan nilai tukar rupiah,” kata Perry.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah Rp 13.992 per dollar AS pada Jumat (8/2/2019). Kurs rupiah mulai berada pada kisaran Rp 13.000 sejak 1 Februari 2019. Posisi terlemah rupiah berada di kisaran Rp 15.000 pada Oktober 2018.
Menurut Perry, kendati menunjukan tren penguatan, nilai tukar rupiah secara perhitungan fundamental masih rendah (undervalued). Perhitungan dilakukan dengan mempertimbangkan prospek pertumbuhan ekonomi, kondisi neraca pembayaran, dan inflasi.
Oleh karena itu, kebijakan moneter BI pada 2019 akan tetap berorientasi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan penurunan defisit neraca berjalan. Salah satunya adalah dengan menjaga suku bunga acuan berada di posisi ” atau kecenderungan mengetat.
Pada 2018, secara total BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Suku bunga BI saat ini disebutkan hampir mencapai puncak.
Perry melanjutkan, kebijakan BI sedikit berbeda dengan beberapa bank sentral negara lainnya yang mulai menurunkan suku bunga acuan. Sejumlah bank sentral mulai menurunkan suku bunga sebab bank sentral AS, The Fed, memberikan sinyal dovish dengan menahan kenaikan suku bunga acuannya.
”Kebijakan moneter AS tidak seketat perkiraan sebelumnya. Ada kemungkinan hanya satu atau dua kali naik tahun ini. Bahkan, ada yang memperkirakan tidak ada kenaikan,” ucap Perry.
Kendati demikian, karena masih penuh dengan ketidakpastian, suku bunga BI akan tetap berada di posisi hawkish. Namun, BI menjamin, likuiditas bank untuk menyalurkan kredit masih terjaga sebab operasi moneter terus dilakukan secara berkala.
Inflasi
Perry melanjutkan, inflasi pada awal 2019 cukup terjaga. Inflasi pada Februari 2019 diperkirakan lebih rendah daripada Januari 2019.
Inflasi sebesar 2,82 persen secara tahunan pada Januari 2019. Adapun BI memperkirakan inflasi turun sebesar 2,72 persen secara tahunan pada Februari 2019.
”Kami perkirakan inflasi hingga akhir 2019 akan lebih rendah dari sasaran inflasi awal sebesar 3,5 persen. Semua indikator penyumbang inflasi dan berbagai harga komoditas terkendali,” kata Perry.
BI memperkirakan inflasi turun sebesar 2,72 persen secara tahunan pada Februari 2019.
Secara terpisah, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Febrio Kacaribu menyampaikan, selama inflasi terkendali, pertumbuhan konsumsi domestik akan meningkat pada 2019. ”Namun, pertumbuhan akan tertahan jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM),” ujarnya.