Bibit yang Mengubah Hidup Warga
Bibit tidak sekadar awal kehidupan tanaman. Di Dusun Kebonkliwon, Desa Kebonrejo, Kabupaten Magelang, ribuan bibit berbagai jenis tanaman buah mampu memperbarui kehidupan ribuan warga. Kesejahteraan pun meningkat.
Kini Kebonkliwon dikenal sebagai sentra pembibitan tanaman buah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Beberapa tahun terakhir, warga beramai-ramai menekuni usaha pengembangan bibit tanaman buah.
”Sekarang ini, rata-rata warga punya kesibukan yang sama, sibuk ’dakwah’ alias ngidak-idak (bahasa Jawa dari menginjak-injak) sawah,” ujar Ketua Karang Taruna Dusun Kebonkliwon, Syariful Faqih (38), sembari terkekeh.
Dari aktivitas ”dakwah” inilah roda perekonomian warga berputar. Rutinitas di tanah becek ini mampu memenuhi kebutuhan bibit tanaman buah untuk kota-kota di seluruh Indonesia, serta mengalirkan omzet bagi dusun, lebih dari Rp 1 miliar per tahun.
Aktivitas produksi dan pemasaran bibit tanaman buah ini dilakukan lebih dari 250 warga yang tergabung dalam Komunitas Bibit Buah Kebonkliwon. Setiap hari mereka menjual sedikitnya 500 bibit tanaman secara langsung dan 800 bibit tanaman secara daring.
Bibit tanaman buah yang dijual, antara lain, jeruk, alpukat, durian, serta jenis tanaman buah langka, seperti buah tien, mamey sapote, jeruk jari Buddha, dan anggur Brasil.
Kencangnya denyut perekonomian pembibitan tanaman membuat banyak warga memilih bidang ini sebagai sumber pencariannya. Syariful, yang selama ini berkelana menjadi buruh bangunan di sejumlah kota, lega menemukan sumber uang untuk kehidupan keluarganya ada di lahan pertanian yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah.
Kini, dia bahkan bisa menjalani dua profesi, bertani sekaligus menjadi pedagang bibit. Saat ditemui, Rabu (9/1/2019), sembari memindahkan bibit tanaman ke polybag, ia beberapa kali menengok telepon seluler (ponsel), melayani permintaan pelanggan yang masuk secara daring. Sesekali dia mengirimkan foto melalui media sosial.
”Sama seperti orang lain, saya juga perlu posting foto. Bukan foto selfie, ini foto tanaman untuk menarik pembeli,” ujarnya. Ia mengaku sudah mantap menekuni usaha pembibitan tanaman.
Usaha pengembangan bibit juga ditekuni Zainal Faizin (30). Setelah mencoba beragam usaha seperti pembibitan lele, persewaan Play Station (PS), dan menjadi guru selama delapan tahun, Zainal yang merupakan lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar, Magelang, sejak tiga tahun lalu melepaskan semuanya dan fokus pada usaha pengembangan bibit.
Riuh kegiatan usaha pembibitan tanaman ini pun pada akhirnya ”menggiring” warga yang semula bekerja di luar kota, bahkan di luar Pulau Jawa, kembali pulang. Ini antara lain dilakukan Ahmad Fanani (33), yang sebelumnya bekerja selama 10 tahun di sebuah pabrik di Tangerang, Jawa Barat.
Dia memang sering diajak teman-temannya untuk pulang dan menekuni usaha bibit di desa. Namun, karena ragu dan tidak percaya, dia baru menyanggupi ajakan itu setelah kontrak kerjanya di Tangerang habis pada 2015.
Hanya bermodal satu ponsel dan sebatas iseng, Ahmad belakangan justru kaget karena rata-rata penghasilan yang didapatkan Rp 6 juta per bulan, dua kali lipat lebih besar ketimbang gajinya saat bekerja di pabrik.
Hal itu pun sontak mengubah persepsi orangtua dan dirinya yang semula membayangkan masa depan cerah hanya bisa didapatkan dengan bekerja di sektor formal di luar kota. ”Saat ini, saya justru tidak ingin ke mana-mana lagi,” ujarnya.
Melibatkan semua
Aktivitas bersama bibit ini juga sekaligus mengubah perilaku dan kebiasaan anak-anak di masa kini. Jika sebelumnya anak-anak lebih banyak mengisi waktu luang dengan bermain-main, saat ini mereka lebih bisa membagi waktu antara belajar dan membantu orangtuanya di lahan.
Tidak hanya anak-anak, majunya usaha pengembangan bibit tanaman buah ini juga mendorong banyak warga untuk ikut terlibat di dalamnya. Muh Afif (43), misalnya, warga yang selama tujuh tahun berprofesi sebagai tukang kayu, membuat jendela, meja, dan kursi, setahun terakhir memilih fokus membuat kemasan kayu untuk bibit-bibit tanaman yang akan dikirim ke luar kota.
Warga lain pun mencoba mendukung dengan segenap kemampuannya. Ibu-ibu yang sudah lanjut usia (lansia), misalnya, menjadi tenaga lepas yang membantu mencabuti rumput di sekitar bibit di lahan.
Banyak laki-laki yang tidak paham bertani juga terlibat dalam usaha ini dengan menjadi tenaga lepas memanggul bibit dari lahan ke tempat pengemasan atau pengangkutan.
Usaha pembibitan ini, menurut Faizin, pada akhirnya benar-benar berdampak mengurangi angka pengangguran di dusun. Dengan begitu ramainya kesibukan terkait pembibitan, sekarang tiada lagi warga kampung yang tanpa pekerjaan. ”Saat ini hampir tidak ada warga yang mengeluh tidak punya pekerjaan,” ujarnya.
Dimulainya usaha
Usaha pembibitan tanaman di Kecamatan Salaman, termasuk di Dusun Kebonkliwon, Desa Kebonrejo, telah ada sejak puluhan tahun silam. Berawal dengan pengembangan bibit pohon rambutan, usaha ini pun mengalami pasang surut dan warga sempat beralih pada usaha pembuatan batu bata.
Sebelumnya, para petani dan pelaku usaha pembibitan tanaman ini sangat bergantung pada permainan harga para tengkulak. Namun, sekitar 10 tahun lalu, para pelaku usaha melepas ketergantungan tersebut dengan memasarkan bibit secara daring. Aktivitas pengembangan dan pemasaran bibit pun kian berkembang seiring pesatnya teknologi telepon pintar dan media sosial.
Saat pemasaran mulai menembus dunia maya, sekitar tahun 2015, Faizin mengatakan, baru ada 10 pelaku usaha pembibitan yang memasarkan secara daring. Faizin yang tidak memiliki latar belakang pertanian ketika itu juga mencoba bermitra dengan petani dan bekerja memasarkan produk bibit saja.
Setelah setahun berjalan dan merasa meraup cukup keuntungan, dia pun mencoba mengembangkan diri dengan langsung menerjuni usaha bertani dan pengembangan bibit.
Kiprah Faizin ini akhirnya juga diikuti oleh banyak warga lainnya. Hampir semua petani dan pelaku usaha pembibitan ini mengawali hanya sebatas coba-coba, dan mempelajari semuanya secara otodidak.
Dengan keberhasilan pembibitan itu, sejak 2016, Dusun Kebonkliwon banyak didatangi sekolah, kelompok masyarakat, dan berbagai lembaga pertanian yang ingin belajar tentang pembibitan. Mereka datang dari sejumlah kota, seperti Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, hingga Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.