JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dalam memilih hakim konstitusi hendaknya mengutamakan syarat diri mereka sebagai negarawan dan tidak semata-mata menimbang hitung-hitungan politik. Sebab, peran utama hakim konstitusi ialah menjaga konstitusi dan memastikan tidak ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi kendati kerap kali putusan mereka pada akhirnya bernilai politis karena berkaitan langsung dengan regulasi yang disusun oleh DPR dan pemerintah.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, pemilihan hakim konstitusi oleh DPR sangat menentukan masa depan kelanjutan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis. Sebab, saat ini lembaga itu menghadapi tantangan yang besar untuk membuktikan kepada publik bahwasanya lembaga itu masih independen dan bebas dari kepentingan politik partisan dalam memutus sengketa hasil pemilu atau perkara lain.
Dengan pertimbangan tersebut, politik kenegaraan seharusnya yang dibangun dan dijadikan tolok ukur oleh DPR dalam menentukan hakim konstitusi. ”Pilihan hakim MK harus dijauhkan dari politik transaksional, dihindarkan dari penggunaan politik identitas maupun politik aliran, yakni memilih hanya berdasarkan kesamaan cara pandang politik antara calon dan parpol di DPR,” tutur Bayu, Jumat (8/2/2019), yang dihubungi dari Jakarta.
Penggunaan politik kenegaraan sebagai landasan dalam memilih hakim konstitusi itu berimplikasi langsung dengan kriteria yang terukur dalam memilih seseorang sebagai hakim konstitusi. Kriteria tersebut adalah kadar negarawan yang tinggi, integritas yang baik, dan penguasaan terhadap konstitusi ataupun bidang ketatanegaraan yang cakap pula.
”Sikap kenegarawanan itu bisa dilihat, misalnya, dengan melihat keberhasilan calon menuntaskan tugas dalam jabatan publik, kejujuran dalam menyerahkan LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara), atau penguasaan mereka saat fit and proper test di hadapan DPR. Ukurannya bisa macam-macam, tetapi pendekatan yang digunakan harus obyektif dan bukan subyektif,” lanjut Bayu.
Panel ahli
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto mengatakan, selama ini tolok ukur negarawan sulit diterjemahkan dalam mekanisme seleksi yang dilakukan lembaga pengusul, yakni pemerintah, DPR, ataupun Mahkamah Agung. Pelibatan publik secara partisipatif dan kelompok ahli untuk melakukan seleksi terhadap calon hakim konstitusi pun tidak secara konsisten dilakukan lembaga pengusul.
”Selama ini, ada kecenderungan lembaga pengusul, yakni dari presiden, mekanisme seleksinya lebih baik karena melibatkan panel ahli secara langsung dalam menyeleksi calon hakim MK. Namun, hal serupa tidak dilakukan secara konsisten oleh DPR. Begitu juga MA yang mekanisme seleksinya dilakukan internal,” ucap Satya.
Dengan mekanisme seleksi yang saat ini dilakukan oleh DPR, menurut Satya, idealnya DPR akan lebih memperhatikan pendapat dari panel ahli untuk menilai kenegarawanan para calon. Kehadiran panel ahli akan mewarnai pilihan DPR tidak semata-mata pertimbangan politik, tetapi juga melihat karakter mendasar yang harus dimiliki hakim MK, yakni negarawan.
”Sayangnya, pendapat panel ahli di DPR kesannya tidak memiliki kekuatan mengikat dalam menentukan pilihan DPR karena sifatnya hanya masukan. Jika ini terjadi, pertimbangan pemilihan hakim konstitusi di DPR dikhawatirkan akan lebih banyak terjebak pada pertimbangan politik daripada kompetensi, integritas, dan kenegarawanan mereka,” kata Satya.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Oce Madril menambahkan, integritas hakim harus sangat diperhatikan oleh DPR mengingat pengalaman buruk ketika dua mantan hakim MK, yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Jangan ada catatan-catatan buruk dari kandidat karena tugas hakim MK rentan terhadap transaksi-transaksi politik, dan banyak perkara yang bersinggungan dengan politik. Banyak pihak juga yang berkepentingan dengan putusan MK, misalnya untuk putusan pilkada dan sengketa pemilu. Oleh karena itu, pemilihan hakim MK harus mempertimbangkan sisi kenegarawanan dan integritas mereka,” tutur Oce.