JAKARTA, KOMPAS— Pemerintah Indonesia diminta mengkaji ulang kontrak dan perjanjian dengan pihak-pihak yang akan membangun pembangkit listrik dalam proyek 35.000 megawatt dari sumber energi batubara. Apabila dominasi batubara dipertahankan, posisi Indonesia akan terkunci selama 20-40 tahun dengan operasi pembangkit listrik tenaga uap yang mengotori udara.
Dari program pembangkit 35.000 megawatt (MW), sebanyak 2.899 MW sudah beroperasi. Sementara yang masih dalam tahap konstruksi sebesar 18.207 MW dan yang telah dalam penandatanganan perjanjian jual beli tenaga listrik mencapai 11.467 MW. Sisanya masih dalam perencanaan dan pengadaan (Kompas, 11 Januari 2019).
”Adanya Paris Agreement yang diratifikasi secara global, termasuk oleh Indonesia, menunjukkan, fossil fuel itu menuju senja,” kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, dalam diskusi ”Tinjauan Ekonomi Batubara Vs Energi Terbarukan, Bagaimana Kebijakan Presiden Terpilih?” yang diselenggarakan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Diskusi menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Alin Halimatussadiah (Kepala Kajian Lingkungan LPEM Universitas Indonesia), Peter Kiernan (Kepala Analis Bidang Energi The Economist Intelligence Unit), Arif Budimanta (perwakilan Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin), dan Ramson Siagian (perwakilan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno).
Pemerintah dapat mulai mengkaji perjanjian untuk menghentikan pembangunan PLTU. Pembangunan PLTU dengan produk listrik yang berlebih akan menurunkan minat dan daya saing pembangunan pembangkit energi terbarukan.
Apalagi, Indonesia memiliki pekerjaan rumah dalam menjalankan rencana umum energi nasional yang mengamanatkan 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025.
Transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan sangat bergantung pada niat politik pemerintah. Di satu sisi, ada sejumlah kendala pengembangan, seperti dukungan pendanaan dari perbankan dan regulasi yang belum ramah investasi. Namun, di sisi lain, ada potensi sumber daya 400.000 MW yang sementara pemanfaatannya masih kurang dari 10.000 MW.
”Indonesia jangan sampai kehilangan manfaat dari biaya pengembangan energi terbarukan yang kian murah. Kalau tidak mulai saat ini, Indonesia akan semakin tertinggal. Semua sangat bergantung niat politik pemerintah. Apalagi, regulasi energi terbarukan kurang mendukung (terhadap pengembangan),” kata Alin.
Indonesia masih sangat bergantung pada energi primer jenis batubara. Padahal, potensi energi terbarukan sangat beragam dan melimpah, seperti tenaga surya, bayu, panas bumi, dan hidro.
Dalam sistem pembangkit listrik, porsi batubara sebagai sumber primer pembangkit masih terbesar, mencapai 60,5 persen (2018). Sementara porsi gas 22,1 persen, energi terbarukan 12,4 persen, dan bahan bakar minyak 5 persen. Khusus bahan bakar minyak terjadi penurunan signifikan sejak 2014, yang porsinya sebesar 11,8 persen.
Ketergantungan
Arif menyatakan, bauran energi di Indonesia masih sangat bergantung pada batubara. Sebab, ketersediaan batubara melimpah dan biaya pengembangannya masih paling murah dibandingkan dengan gas, bahan bakar minyak, atau sumber energi terbarukan.
Namun, pemerintah memiliki komitmen kuat untuk terus meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil.
”Batubara tak perlu diimpor dan harganya murah. Masih banyak penduduk yang berpendapatan rendah sehingga perlu akses terhadap listrik dengan harga murah. Maka, batubara menjadi pilihan,” tutur Arif.
Ramson mengatakan bahwa pengembangan batubara masih lebih murah dibandingkan dengan sumber energi primer lain. Oleh karena itu, pengembangan energi terbarukan membutuhkan dukungan kebijakan, seperti pemberian insentif fiskal.
Pengembangan energi terbarukan juga harus dalam skala besar agar nilai keekonomian investasinya tercapai. ”Di masa mendatang perlu direvisi kontrak program pembangkit 35.000 MW yang semula menggunakan batubara agar beralih ke sumber energi terbarukan,” kata Ramson.
Dalam rangka mengejar target bauran 23 persen pada 2025, dibutuhkan tambahan kapasitas terpasang listrik dari sumber energi baru terbarukan sebesar 4.000 MW-5.000 MW per tahun.
Tanpa komitmen kuat dari pemerintah, target itu dinilai bakal sulit dicapai. Penambahan kapasitas terpasang energi terbarukan sepanjang tahun 2018, misalnya, hanya sekitar 400 MW. (APO/ICH)