Kebisingan dan Demokrasi
Memasuki bulan kelima kampanye Pemilu 2019, politik Indonesia masih didominasi oleh kebisingan. Kondisi ini menjadi tantangan dalam upaya menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Melalui amendemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada Agustus 2000, Majelis Permusyawaratan Rakyat merinci rumusan mengenai hak asasi manusia dalam Pasal 28 UUD 1945. Dari hasil amendemen itu, negara melindungi hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, serta menerima dan menyampaikan informasi.
Isi Pasal 28 UUD 1945 hasil amendemen tersebut saat itu menjadi oase atas penantian panjang masyarakat untuk memiliki kebebasan menyampaikan pendapat. Namun, seiring perkembangan teknologi, saat ini kebebasan itu mulai memunculkan sejumlah hal yang patut diwaspadai.
Elite dan tokoh politik menggunakan media sosial untuk saling melemparkan opini dan pendapatnya. Tindakan itu makin menguat pada masa kampanye pemilu. Namun, alih-alih menyebarkan program kerja dan visi-misi mereka atau calon yang didukung, sejumlah tokoh politik saling berbalas ”nyinyir” dan melemparkan tuduhan.
Dalam acara Satu Meja The Forum Spesial di Kompas TV, Rabu (6/2/2019), Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte mengatakan, kehadiran media sosial membuat kepedulian setiap individu terkikis. Ini karena di media sosial, status sosial hilang sebab pejabat publik dan rakyat biasa berkedudukan sama, bahkan bisa saling berbalas pernyataan.
Atas dasar itu, menurut Philips, terdapat dua fenomena yang menyebabkan kebisingan politik semakin mengemuka. Pertama, fenomena anti-intelektualisme yang mengedepankan pendapat subyektif dibandingkan dengan penjelasan rasional. Kedua, fenomena whataboutism yang merupakan sikap mempertanyakan kesalahan orang lain ketika telah membuat kesalahan, misalnya menyebarkan hoaks.
”Dua hal ini membuat kita kehilangan kejernihan dan nalar,” ujar Philips dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu.
Selain Philips, juga hadir sebagai pembicara dalam acara bertema ”Demokrasi di antara Voice & Noise” itu adalah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi; mantan hakim agung Gayus Lumbuun; budayawan Agus Noor; juru bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Ahmad Basarah; serta juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ahmad Riza Patria.
Hadir pula sejumlah bintang tamu, antara lain Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Ketua DPR Bambang Soesatyo. Acara itu ditutup dengan peluncuran buku Catatan Satu Meja yang merupakan kumpulan tulisan dari acara itu yang dimuat di harian Kompas.
Politik praktis
Agus menilai, kebisingan di ruang publik disebabkan oleh adanya iklim politik yang membuat sejumlah pihak yang seharusnya memberikan ”suara jernih”, seperti kaum intelektual, cendekiawan, dan seniman, masuk ke ranah politik praktis.
”Puisi yang selama ini menjadi media pembersihan saja sudah menjadi media politik. Jadi, kita memang telah kekurangan suara untuk menjernihkan fakta-fakta yang tersembunyi,” tuturnya.
Mochtar pun menambahkan, ”Kegaduhan hadir karena para pemain utama di panggung politik melakukan eskapisme, melakukan penghindaran, sehingga mereka mencari cara gampang atau jalan selamat.”
Riza menilai kebebasan yang diamanatkan UUD 1945 harus disikapi dengan tanggung jawab. Kebebasan yang bertanggung jawab ialah kebebasan yang disampaikan untuk kemaslahatan orang banyak, bukan sekadar untuk mencapai kepentingan tertentu.
Guna mewujudkan hal itu, Riza menekankan, dibutuhkan negara yang kuat.
Adapun Basarah menilai permasalahan demokrasi di Indonesia adalah karena demokrasi dijalankan secara instan. Selain itu, syarat-syarat awal berdemokrasi, seperti kesediaan mendengar pendapat dan berkedudukan setara dengan orang lain, belum sepenuhnya terpenuhi.
”Budaya demokrasi harus ditumbuhkan. Mulai dari memasukkan kurikulum pendidikan demokrasi di sekolah dan menumbuhkan tanggung jawab partai politik untuk melakukan kaderisasi sehingga para kader tahu cara berdemokrasi yang benar dan sesuai amanat Pancasila,” urai Basarah.
Menurut Gayus, kebebasan yang menjadi hak warga negara harus dibarengi dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kebebasan itu sesuai norma hukum yang berlaku. Demokrasi ideal bagi Indonesia telah diatur dalam sila keempat dan sila kelima Pancasila, yakni Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Harapan
Lalu, apakah demokrasi masih memiliki harapan dalam perjalanan bangsa Indonesia? Di tengah kebisingan menyambut Pemilu 2019, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata masih optimistis dengan perjalanan demokrasi di negeri ini.
Dalam laporan lembaga penelitian Amerika Serikat, Pew Research Center, berjudul ”Globally, Broad Support for Representative and Direct Democracy” yang dipublikasikan Oktober 2017, Indonesia masuk dalam enam besar negara dengan persentase kepuasan demokrasi tertinggi. Sebanyak 69 persen masyarakat Indonesia puas dengan sistem demokrasi yang telah berjalan dua dekade, sedangkan hanya 29 persen warga Indonesia yang tidak puas dengan demokrasi.
Tingkat kepuasan demokrasi masyarakat Indonesia hanya kalah dari Swedia, India, Belanda, Jerman, dan Kanada. Selain itu, sebanyak 87 persen warga Indonesia juga berkomitmen tetap mendukung demokrasi sebagai sistem pemerintahan.
Oleh karena itu, penggalan monolog budayawan Arswendo Atmowiloto dalam permulaan acara itu, ”noise makin menipis ketika voice mewujud dalam pernyataan yang kritis”, perlu menjadi renungan bagi seluruh elemen bangsa untuk menjawab optimisme dan harapan masyarakat.