JAKARTA, KOMPAS — Selain ketidakpastian perekonomian global, ketidakpastian regulasi, dan masalah perizinan dalam berinvestasi di Indonesia turut menjadi persoalan utama bagi investor dalam menanamkan modalnya. Pasar Indonesia yang besar, menurut sejumlah kalangan, akan menjadi tidak menarik tanpa kehadiran kepastian hukum.
Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat, investasi langsung berupa penanaman modal asing (PMA) pada 2018 hanya 82,3 persen dari target. Realisasi PMA pada 2018 yang sebesar Rp 392,7 triliun itu lebih rendah 8,8 persen dari realisasi PMA pada 2017 yang mencapai Rp 430,5 triliun. Secara keseluruhan, target investasi langsung pada 2018 yang sebesar Rp 765 triliun hanya tercapai 94,3 persen, yakni Rp 721,3 triliun.
”Selain karena adanya perlambatan ekonomi dunia, penurunan PMA disebabkan oleh permasalahan klasik seperti biaya logistik dan transportasi yang tinggi dan belum adanya kepastian regulasi bagi investor asing,” kata Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, saat dihubungi Kompas, Jumat (8/2/2019).
Yose menilai, perang dagang antara Amerika Serikat dan China sebenarnya merupakan peluang bagi Indonesia dalam meningkatkan perekonomian. Misalnya, kebijakan China yang tengah merelokasi kegiatan ekonomi ke negara-negara Asia Tenggara. Namun, ketidakpastian regulasi membuat Indonesia belum masuk dalam perhitungan utama China.
Persoalan utama yang membuat investor berpikir ulang berinvestasi di Indonesia antara lain perizinan. Tahun 2015, misalnya, untuk mengurus perizinan di sektor infrastruktur kelistrikan, butuh waktu 1.117 hari atau lebih dari tiga tahun. Perkebunan dan pertanian butuh 886 hari atau lebih dari dua tahun. Infrastruktur perhubungan perlu 743 hari.
Jika dibandingkan, jumlah perizinan di Indonesia dua kali lebih banyak daripada di Hong Kong. Waktunya lebih lambat enam kali lipat dibandingkan Singapura dan biayanya 25 kali lebih mahal dibandingkan dengan Brunei Darussalam (Kompas, 15 Desember 2018).
”Selain itu, ada juga persoalan Paket Kebijakan Ekonomi Ke-16 yang kembali ditarik setelah diterbitkan pada 16 November 2018. Penarikan kebijakan ini khususnya datang dari isu DNI (daftar negatif investasi) yang dinilai memicu kontroversi,” ujar Yose.
Dalam kebijakan itu, ada 54 bidang usaha yang boleh 100 persen menggunakan modal asing. Artinya, ada pembebasan 54 bidang usaha dari DNI.
Kebijakan ini dianggap kurang tepat mengingat sejumlah industri yang tidak memerlukan teknologi canggih, seperti pengupasan dan pembersihan umbi, industri kain rajut dan renda, warung warnet, pariwisata, dan budidaya karang hias, dinyatakan bebas terbuka 100 persen untuk investasi asing. Hal ini berarti hak warga negara dalam menggarap sendiri perekonomiannya dibiarkan terenggut oleh investor asing(Kompas, 8 Desember 2018).
Menurut Yose, hal ini membuat iklim investasi menjadi tidak optimal. ”Keadaan ini menunjukkan, aturan bisa berubah dalam waktu beberapa hari, dikeluarkan tanpa adanya kepastian bahwa regulasi tersebut dapat berjalan terus atau tidak. Perubahan yang cepat tanpa melihat faktor yang terkait membuat kita bertanya, di mana kepastian regulasi?” paparnya.
Daya tarik
Populasi kelas menengah Indonesia memang kian meningkat. Bank Dunia mencatat, dari total populasi Indonesia, ada peningkatan kelas menengah, yaitu dari 7 persen (2002) menjadi 20 persen (2017).
Kendati demikian, Yose mengingatkan agar tidak hanya terpaku pada pasar Indonesia yang besar. Namun, harus menyelesaikan pekerjaan rumah, khususnya persoalan kepastian hukum sebagai jaminan perlindungan bagi investor asing.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani juga menyampaikan hal senada. Menurut dia, pasar yang besar dapat tetap menjadi daya tarik asalkan didukung regulasi yang konsisten dan ada kepastian hukum bagi investor. Namun, tenaga kerja Indonesia masih menjadi persoalan.
Pasar yang besar akan menjadi daya tarik asalkan didukung regulasi yang konsisten dan ada kepastian hukum bagi investor.
Pasalnya, biaya investasi untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi masih mahal. Hal tersebut tecermin pada incremental output ratio (ICOR) Indonesia yang saat ini sekitar 6,3 persen. Artinya, untuk satu unit pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan tambahan investasi atau modal sekitar 6,3 unit. ICOR Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara tetangga yang rata-rata di bawah 5 persen, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan India (Kompas.id, 7 Februari 2019).
”Para investor asing melihat dari segi output. Mereka menilai, produktivitas tenaga kerja Indonesia tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Termasuk kenaikan upah yang tidak sebanding dengan peningkatan produktivitas industri. Maka, investor asing lebih memilih ke negara lain, di mana biaya sesuai dengan produktivitasnya,” tutur Hariyadi.
Persoalan lain juga disampaikan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani. Menurut dia, implementasi kebijakan ekonomi saat ini belum maksimal.
”Misalnya, terkait dengan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau Online Single Submission yang masih menimbulkan masalah. Pemerintah harus segera memperbaikinya, terutama perizinan daerah agar bisa terintegrasi dan tidak menimbulkan kebingungan bagi investor,” ujar Shinta. (SHARON PATRICIA)