Perusahaan pers harus menyesuaikan dengan perubahan teknologi. Kreativitas dan profesionalitas menjadi kunci agar tetap bertahan.
SURABAYA, KOMPAS Perusahaan pers diyakini tidak akan mati meskipun saat ini menghadapi tantangan berat di era disrupsi. Namun, perusahaan pers harus meningkatkan kreativitas dan kerja keras agar bisa melewati perubahan teknologi.
”Saya punya keyakinan bahwa pers akan tetap hidup karena komunikasi selalu diperlukan sejak dunia ini lahir,” kata Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) terpilih Alwi Hamu dari Fajar Group saat Malam Anugerah SPS 2019 di Gedung Siola, Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/2/2019).
Acara itu dihadiri, antara lain, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Hadir pula pengurus SPS terpilih, Wakil Ketua Umum SPS Rikard Bagun dari Kompas dan Satria Narada dari Bali Post.
Dalam kesempatan itu, Kompas memperoleh sembilan penghargaan, masing-masing tiga penghargaan emas, tiga perak dan tiga perunggu.
Penghargaan emas tersebut diperoleh dalam Indonesia Print Media Awards (IPMA) sebagai Konten Surat Kabar Terbaik 2019 serta dua penghargaan emas IPMA sebagai Sampul Muka Surat Kabar Terbaik 2019.
Kemudian tiga penghargaan perak adalah untuk Editorial, Info Grafik dan Liputan Investigasi. Adapun tiga penghargaan perunggu masing-masing untuk kategori Fotografi Olahraga, Fotografi Travel serta Kompas Muda yang mendapatkan Bronze Winner dalam Penghargaan Indonesia Young Readers Awards (IYRA) sebagai Surat Kabar Nasional Terbaik IYRA 2019.
Tantangan berat
Perusahaan-perusahaan, termasuk perusahaan pers, kata Alwi, menghadapi tantangan amat berat. Hal itu disebabkan industri memasuki perubahan teknologi dari Revolusi Industri 3.0 menuju Revolusi Industri 4.0. Mereka harus bisa menyesuaikan perubahan teknologi jika tidak ingin mati.
Secara terpisah, saat membuka Pameran Karya Pers dan Teknologi Informasi, Rudiantara mengatakan, perusahaan pers perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang berlangsung dalam era ekonomi digital. Perusahaan pers pasti terpengaruh, tetapi jangan cemas dengan era digital.
Kecemasan bisa dimaklumi mengingat penurunan konsumsi masyarakat terhadap media massa konvensional, terutama koran, majalah, dan tabloid. Oplah media cetak turun. Namun, penurunan bukan akhir dunia pers, khususnya media cetak. ”Industri pers tidak bergantung pada digital atau tidak digital, tetapi insannya, apakah tetap beretika dan profesional atau tidak,” kata Rudiantara.
Prinsip jurnalisme
Pers diyakini tak akan pernah mati meski dalam tekanan berat di era digital. Untuk itu, perusahaan pers harus selalu meningkatkan kompetensi, berinovasi, serta menjaga mutu laporan jurnalistik dengan memenuhi prinsip jurnalisme, verifikasi, dan kode etik.
Rudiantara meyakini, tak lama lagi teknologi 5G akan diaplikasikan dalam kehidupan umat manusia. Penyampaian informasi secara tekstual akan kian berkurang berganti dengan visual secara langsung. Meski begitu, karya jurnalistik tetap perlu kedalaman, kelengkapan, dan mencerahkan kehidupan publik. ”Agar hoaks tidak semakin merenggut dan mengacaukan kehidupan manusia,” ujar Rudiantara.
Di era digital, penyebaran informasi bohong dan hoaks kian marak. Publik dibingungkan dengan informasi pembenaran ketimbang kebenaran. Ini momentum pers untuk tetap menjadi panduan dan pencerah.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Atal Depari menambahkan, pers harus tetap menjadi pemandu dan pencerah kehidupan publik dengan tak turut terbelenggu hoaks. Jurnalis diingatkan untuk tetap mengedepankan etika dan profesionalitas dalam berkarya.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan, di era digital, pers tetap perlu menjadi mitra pemerintah dan publik untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan aman, tertib, dan makmur. (BRO/SYA)