JAKARTA, KOMPAS — Kepala Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia atau LIPI Laksana Tri Handoko akhirnya sepakat membentuk tim untuk mengevaluasi kebijakan reorganisasi di lembaga itu. Kesepakatan merupakan buntut dari unjuk rasa oleh ratusan profesor riset dan pegawai LIPI. Mereka menginginkan reorganisasi dimoratorium karena pengambilan kebijakan dinilai tidak inklusif, partisipatif, dan humanis, serta menurunkan marwah LIPI.
Kesepakan itu tertuang dalam surat pernyataan yang ditandatangani oleh Handoko dan beberapa deputi LIPI. Surat yang berlaku sejak 11 Februari hingga 1 Mei 2019 itu berisi tuntutan dari para pengunjuk rasa.
“Mudah-mudahan minggu depan tim yang berisi perwakilan tiap-tiap satuan kerja ini sudah terbentuk. Dengan demikian, kita bisa mengadakan evaluasi. Apakah masih ada yang perlu diperbaiki, ditambah, dan sebagainya,” kata Handoko seusai berdialog dengan massa yang menggelar aksi, Jumat (8/2/2019).
Proses dialog berlangsung alot sekitar dua setengah jam, bahkan nyaris tanpa hasil. Para profesor dan sejumlah pegawai ngotot agar lima isi tuntutan mereka dikabulkan. Di lain pihak, Handoko menolak menandatangani surat karena ada dua tuntutan yang tidak bisa dia putuskan sendiri karena berkaitan dengan lembaga lain. Kedua belah pihak akhirnya sepakat dua tuntutan yang ditolak Handoko akan didiskusikan lebih lanjut.
Tuntutan yang disepakati adalah membentuk tim evaluasi reorganisasi; mengkaji ulang kebijakan reorganisasi dengan melibatkan seluruh sivitas LIPI secara inklusif, partisipatif, dan humanis; dan membangun desain LIPI dengan tahapan yang jelas. Sementara itu, yang akan didiskusikan lebih lanjut adalah penghentian sementara kebijakan reorganisasi dan mengembalikan struktur seperti sebelum reorganisasi.
Sebelum dialog berlangsung sekitar pukul 14.30, para profesor riset dan pegawai LIPI mengadakan aksi damai di kantor LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Aksi itu diikuti seratusan profesor riset dan pegawai LIPI karena aspirasi mereka agar reorganisasi dimoratorium tidak diindahkan. Bahkan, pada 30 Januari 2019, mereka mendatangi Komisi VII untuk menyuarakan persoalan ini.
Profesor Riset Otonomi Daerah LIPI Syarif Hidayat mengatakan, tuntutan itu muncul karena ada hal-hal yang tidak tepat di dalam kebijakan itu. Secara filosofis misalnya, reorganisasi dan redistribusi dinilai meruntuhkan marwah LIPI dari lembaga produsen ilmu pengetahuan menjadi sekadar lembaga penelitian yang bersifat birokratis.
“Dari sisi teknis, reformasi ini dilaksanakan tidak berdasarkan renstra (rencana strategis). Renstra belum jadi, tetapi reformasi sudah dilakukan. Bisa dibayangkan, reformasi yang tidak berdasarkan renstra, tentunya tidak meyakinkan untuk mencapai tujuan lembaga ini,” kata Syarif.
Syarif melanjutkan, pengambilan kebijakan ini juga tidak melibatkan komponen yang ada di LIPI. Selain itu, tidak ada pula peta proses bisnis yang jelas dalam pengambilan kebijakan, sehingga ketika diimplementasikan muncul guncangan. Banyak pegawai diredistribusikan ulang gundah karena tugasnya setelah diredistribusi tidak jelas.
“Aksi damai bukan antireformasi. Bukan kami menentang kebijakan reorganisasi dan redistribusi yang dilakukan di LIPI. Kami juga bukan gagal paham. Kami sangat paham. Kami mendukung dilaksanakannya reorganisasi dan redistribusi, tetapi reorganisasi dan redistribusi yang menjamin tegakya marwah LIPI secara utuh, yaitu sebagai lembaga penelitian nasional dan lembaga pengembangan ilmu pengetahuan,” jelasnya.
Sementara itu, Dewi Fortuna Anwar, peneliti senior LIPI bidang politik, mengatakan, unjuk rasa itu muncul akibat tersumbatnya alur komunikasi. Komunikasi yang tidak lancar antara pimpinan dengan peneliti dan pegawai dalam merumuskan kebijakan menimbulkan goncangan.
“Ada jalur komunikasi dua arah yang tidak berjalan. LIPI sebagai lembaga ilmu pengetahuan, selalu menjalankan kepemimpinan yang kolegial dan kolektif. Apapun keputusan yang dibuat harus berdasarkan partisipasi bersama. Kalau dihilangkan, inilah jadinya,” kata Dewi.
Menurut Dewi, ide yang tercakup dalam kebijakan itu sebenarnya banyak yang bagus. Jika kebijakan itu diputuskan bersama, banyak yang akan setuju. Namun, karena terlalu banyak proses yang dilompati terjadilah kegaduhan.
Handoko menjelaskan, reorganisasi dan redistribusi bertujuan untuk mengurangi beban admistrasi peneliti dan aktivitas penelitian secara signifikan. Dengan demikian, peneliti akan lebih fokus melakukan penelitian sehingga hasilnya semakin baik. Selain itu, kebijakan ini juga akan menguntungkan bagi petugas administrasi pendukung.
“Peneliti akan terlepas dari beban administrasi dan tenaga pendukung akan punya jenjang karier lebih tinggi setelah didistribusikan ulang di satuan kerja yang lebih tepat,” ujarnya.
Dalam reorganisasi tahap pertama itu, Handoko fokus membenahi organisasi dan tata kelola satuan kerja pendukung penelitian. Pada tahap kedua, akan difokuskan pada penajaman tugas dan fungsi satuan kerja eselon III dan IV. Adapun tahap terakhir alah penajaman kompetensi di satuan kerja teknis penelitian setingkat eselon II serta peningkatan status beberapa satu kerja teknis penelitian setingkat eselon III. (YOLA SASTRA)