Praktik korupsi yang melibatkan Pemerintah Pusat, DPR, dan pemerintah daerah seperti kasus yang diduga melibatkan Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Sukiman, bukanlah hal baru. Modus korupsi dikenal dengan istilah "membeli uang".
Oleh
Mahatma Chryshna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik korupsi yang melibatkan pemerintah pusat, DPR, dan pemerintah daerah seperti kasus yang diduga melibatkan anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Sukiman, bukanlah hal baru. Praktik yang dikenal dengan istilah ”membeli uang” itu akan terus terjadi jika tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki sistem pengawasan.
Sukiman, seperti diberitakan sebelumnya, ditetapkan menjadi tersangka pengurusan dana perimbangan untuk Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017 dan APBN 2018 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dia diduga menerima Rp 2,65 miliar dan 22.000 dollar Amerika Serikat yang merupakan bagian dari komitmen fee sebesar 9 persen dari dana perimbangan yang dialokasikan untuk Kabupaten Pegunungan Arfak. Fee diberikan atas jasanya meloloskan dana perimbangan itu.
Pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, saat dihubungi, Jumat (8/2/2019), mengatakan, praktik korupsi yang melibatkan pemerintah pusat, DPR, dan pemerintah daerah sudah terjadi sejak otonomi daerah dilahirkan sekitar tahun 2000.
”Sampai kemudian ada istilah praktik ’membeli uang’ muncul,” katanya.
Istilah itu muncul karena pemerintah daerah berupaya memperoleh transfer dana ke daerah, seperti dana perimbangan, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, yang lebih besar daripada yang sudah dialokasikan oleh pusat, dengan cara ”membeli” atau menyuap pejabat di pusat dan DPR.
”Kalau sudah didapat, sering dipertanyakan juga apakah uang itu akan mengalir ke masyarakat karena tidak sedikit yang dikorupsi kembali. Ini bagian korupsi politik relasi pusat dan daerah yang jadi problematika dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah,” tambahnya.
Seperti diketahui, kasus Sukiman merupakan pengembangan kasus suap dana perimbangan yang sebelumnya menjerat rekannya di DPR, yang berasal dari Fraksi Demokrat, yaitu Amin Santono. Amin diduga memperoleh uang Rp 3,3 miliar dari sejumlah kepala daerah yang wilayahnya mendapat dana itu.
Amin ditangkap KPK pada 4 Mei 2018. Kemudian pada 4 Februari 2019, dia divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi hukuman pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Amin diperintahkan membayar uang pengganti Rp 1,6 miliar. Hak politiknya juga dicabut selama tiga tahun.
Sebelum Amin, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan juga ditetapkan menjadi tersangka penerimaan imbalan atas pengurusan dana alokasi khusus fisik di APBN Perubahan 2016 untuk APBD Perubahan Kebumen 2016.
Selain Taufik, anggota DPR yang juga melakukan modus korupsi yang sama di antaranya Waode Nurhayati, Adriansyah dari Fraksi PDI-P, Dewi Yasin Limpo, I Putu Sudiartana, Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto, Musa Zainuddin, Yudi Widiana Adia, dan Andi Taufan Tiro.
Mencegah korupsi
Mada Sukmajati menilai, terus terulangnya modus korupsi transfer dana ke daerah karena lemahnya pengawasan ke pemerintah daerah. Salah satu solusinya, Kementerian Dalam Negeri perlu lebih intens mengawasi saat penyusunan hingga penggunaan anggaran daerah.
”Sebagai contoh, Kemendagri harus mengoptimalkan peran pemerintah provinsi sebagai pihak yang dapat mengawasi pemerintah kabupaten/kota di bawahnya,” ujarnya.
Khusus dugaan korupsi yang terjadi di Arfak yang masuk wilayah provinsi dengan otonomi khusus, dia menganjurkan pemerintah pusat agar mengevaluasi pelaksanaan dan penggunaan anggaran otonomi khusus.
”Harus dilihat apakah titik tekan penggunaan dana perimbangan di provinsi yang berstatus otonomi khusus ini punya implikasi ke daerah. Meski pelayanan publik dan pembiayaannya sebagian ditangani provinsi, kalau kabupaten dan kota masih dibebani urusan pelayanan dasar dan tidak didukung dana otonomi khusus ini, mereka mungkin berkeberatan dan akhirnya berusaha mencari sumber pendanaan lain,” tuturnya.
Solusi lain, seperti yang pernah disampaikan oleh sejumlah anggota DPR, yaitu menerapkan e-budgeting atau sistem lain yang membuat pembahasan APBN antara DPR bersama pemerintah lebih transparan. Pasalnya setiap kali pembahasan APBN, khususnya saat membahas transfer dana ke daerah, selalu tertutup. Indikasi korupsi pun terlihat dari adanya daerah-daerah tertentu yang menerima besaran dana transfer melebihi ketentuan seharusnya.
Dalam jumpa pers kasus Sukiman pada Kamis (7/2/2019), Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyampaikan bahwa upaya KPK melakukan pencegahan dan penindakan korupsi di semua daerah di Indonesia, termasuk di wilayah Papua dan Papua Barat, untuk mendukung pembangunan. Terlebih supaya pembangunan itu dapat dirasakan oleh masyarakat.
”Korupsi yang terjadi sudah pasti merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan segelintir orang, baik pejabat di pusat, daerah, maupun pihak swasta yang bersama-sama melakukan korupsi. Kami mengajak semua masyarakat Indonesia, khususnya Papua, untuk terlibat aktif dalam pemberantasan korupsi,” katanya.
Pelayanan publik
Untuk diketahui, dana perimbangan merupakan dana dari APBN untuk mendukung kebutuhan pendanaan pelayanan publik di daerah. Dana perimbangan terdiri dari empat komponen, yaitu dana alokasi khusus, dana bagi hasil, dana alokasi khusus nonfisik, dan dana alokasi khusus fisik.
Besaran dana perimbangan di APBN 2019 mencapai Rp 724 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 57 triliun dari 2018. Lebih dari separuh anggaran dana perimbangan (57 persen) dialokasikan ke pos dana alokasi khusus (DAK).
DAK terdiri atas DAK fisik dan nonfisik. DAK nonfisik di antaranya untuk perbaikan kualitas kinerja (BOS Kinerja), peningkatan unit cost untuk pendidikan vokasi, serta afirmasi untuk daerah tertinggal, terluar, serta transmigrasi.
Sementara DAK fisik untuk pemerataan layanan publik, peningkatan alokasi untuk pendidikan, serta penambahan subbidang GOR dan perpustakaan daerah. (ERIKA KURNIA)