Musisi dan Akademisi Kota Bandung Tolak RUU Permusikan
Sejumlah musisi dan akademisi di Kota Bandung, Jawa Barat, menolak Rancangan Undang-Undang Permusikan. Selain naskah akademisnya dinilai bermasalah, beberapa pasal di dalamnya juga berpotensi mengekang kreativitas bermusik.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Sejumlah musisi dan akademisi di Kota Bandung, Jawa Barat, menolak Rancangan Undang-Undang Permusikan. Selain naskah akademisnya dinilai bermasalah, beberapa pasal di dalamnya juga berpotensi mengekang kreativitas bermusik.
Penolakan itu akan diwujudkan dalam bentuk petisi tertulis. Diperkirakan lebih dari 200 musisi dan akademisi menandatangani petisi itu.
”Petisi dibuat sebagai sikap penolakan terhadap RUU Permusikan. RUU ini tidak penting karena poin-poinnya sudah diatur dalam peraturan yang sudah ada,” ujar Ketua Program Studi Seni Musik Universitas Pasundan Djaelani, di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (8/2/2019).
Hal itu disampaikan Djaelani dalam diskusi ”Kontroversi RUU Permusikan” di Universitas Pasundan. Hadir sejumlah musisi dan puluhan mahasiswa seni musik dari berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung. Djaelani menyoroti naskah akademis RUU Permusikan itu. Dia mempertanyakan siapa akademisi yang diminta pendapatnya dalam naskah akademis itu.
”Saya cek ke teman-teman sekolah seni di Yogyakarta dan Solo. Mereka merasa tidak pernah memberikan pandangan mengenai RUU itu. Jadi, landasan di hulu saja sudah bermasalah,” ujarnya.
Menurut Djaelani, hal tersebut menyebabkan banyak poin dalam RUU itu memicu kontroversi dan menuai penolakan. Oleh karena itu, naskah akademiknya perlu dibongkar untuk mengetahui urgensi pembuatan RUU Permusikan.
Djaelani juga menilai banyak pasal karet dalam RUU itu. Dalam Pasal 5G, misalnya, disebutkan, ”Dalam proses kreasi, setiap orang dilarang merendahkan harkat dan martabat manusia”.
”Bagaimana mengartikan pasal itu? Setiap orang belum tentu mempunyai pemahaman dan daya kreasi yang sama,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Prawira, menilai, RUU Permusikan belum layak untuk diproses menjadi undang-undang. Menurut dia, sebaiknya RUU itu ditunda hingga terpilih anggota DPR periode berikutnya.
Indra mengatakan, RUU seharusnya menjelaskan tiga hal, yaitu apa dan siapa obyek yang diatur, mengapa harus diatur, dan bagaimana cara mengaturnya.
”Saya tidak menangkap tiga hal itu dalam RUU Permusikan,” ucapnya.
Indra juga tidak memahami kepentingan dibuatnya RUU itu. Sebab, konteksnya sudah diatur dalam hukum positif.
Sebaiknya RUU itu ditunda hingga terpilih anggota DPR periode berikutnya.
”Jika tidak ada reaksi penolakan, saya yakin RUU Permusikan akan diketok. Tekanan masyarakat, seperti lewat petisi, dan upaya lobi masih bisa menekan anggota Dewan untuk mengurungkan niatnya melanjutkan RUU ini,” ujarnya.
Penolakan juga datang dari musisi senior Budi Irawan atau yang akrab dipanggil Budi Arab. Menurut dia, tidak ada alasan untuk tidak menolak RUU Permusikan.
”Tidak jelas isinya. RUU jangan direvisi, tetapi ditolak. Perlindungan hak cipta dan royalti sudah ada regulasinya,” ujarnya.
Menurut Budi, beberapa ketidakjelasan isi RUU itu terletak pada Pasal 5, 18, dan 19. Dalam Pasal 5E, misalnya, disebutkan ”Dalam proses kreasi, setiap orang dilarang membawa pengaruh negatif budaya asing”.
”Yang dimaksud pengaruh negatif ini apa? Batasan-batasan ini tidak jelas dan berpotensi mengebiri kreativitas,” ujarnya.
Tidak jelas isinya. RUU jangan direvisi, tetapi ditolak.