Pemerintah Dituntut Transparan Soal Remisi untuk Pembunuh Wartawan
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dituntut untuk membuka pertimbangan yang menghasilkan pemberian remisi atau pengurangan hukuman kepada Nyoman Susrama, narapidana kasus pembunuhan wartawan Radar Bali AA Narendra Prabangsa. Pemberian remisi untuk pembunuh wartawan, dianggap mengancam pers karena hanya sedikit kasus kejahatan terhadap wartawan yang ditindak tegas oleh penegak hukum.
"Proses memberian remisi tidak pernah terbuka kepada publik, sehingga kita perlu mempertanyakan bagaimana orang yang membuat kejahatan serius bisa mendapat pengurangan masa pidana," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, dalam diskusi publik di Kantor Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Diskusi juga dihadiri juga Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab. Mereka mempertanyakan keputusan pemberian remisi, sebagaimana disuarakan insan pers dalam berbagai aksi menolak remisi untuk I Nyoman Susrama.
Susrama, terpidana pembunuhan jurnalis Prabangsa 2009 lalu, mendapat perubahan hukuman dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara agar mendapat remisi, yakni 20 tahun. Hal itu diubah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana. Keppres itu juga mengatur pemberian remisi terhadap 114 terpidana lainnya.
Amiruddin mengatakan, Komnas HAM dalam hal ini tidak menuntut Susrama yang memang berhak mendapatkan remisi, melainkan lebih pada pertimbangan pembuat kebijakan dalam memberikan remisi. Menurutnya, keputusan itu dapat mencederai kebebasan dan perlindungan pers.
"Kebebasan yang didapat pers hari ini diperjuangkan dengan susah payah, namun secara bersamaan ada pihak yang bisa mengancam setiap saat. Saya kira, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) perlu membuka sejelas-jelasnya apa pertimbangan dan proses penilaian untuk pemberian remisi yang selama ini tertutup," ujarnya.
Pemberian keringanan hukuman berupa remisi, termasuk tidak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, dikhawatirkan akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera.
Menurut catatan AJI, kasus pembunuhan terhadap jurnalis atau wartawan merupakan kasus yang jarang terjadi. Sejak 1992, hanya ada kurang dari 10 kasus pembunuhan jurnalis. Kasus pembunuhan Prabangsa sudah diusut hingga ke tingkat Mahkamah Agung pada 24 September 2010.
Hakim menghukum Susarama selaku otak pembunuhan dengan vonis penjara seumur hidup. Delapan orang lainnya yang ikut terlibat, juga dihukum dari 5 tahun sampai 20 tahun. Seluruh terpidana dihukum karena melakukan pembunuhan berencana yang didasari motif sakit hati atas pemberitaan yang dibuat Prabangsa pada 2008.
Sementara itu, AJI mencatat, ada delapan kasus pembunuhan lainnya belum tersentuh hukum. Ini seperti kasus Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan harian Bernas Yogya (1996); pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006); kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010); dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).
Hari ini, AJI dan pihak lain seperti Lembaga Bantuan Hukum Pers menemui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham untuk membawa berkas tuntutan dan praduga mereka terhadap kinerja pemerintah. Mereka akan mengawal hingga pemerintah, dalam hal ini presiden mengubah Keppres terkait pemberian remisi Susrama.
Jika tuntutan tidak ditindaklanjuti, mereka akan menggunakan alternatif hukum dengan memakai mekanisme Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik atau menyampaikan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menerima aspirasi
Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkumham, mengaku menerima aspirasi dari masyarakat dengan tetap memperhatikan hak-hak terpidana atau warga binaan. Oleh karenanya, sepekan lalu Ditjen Pas mulai melakukan kajian dengan mengundang pakar hukum dan perwakilan masyarakat sipil terkait.
"Kami akan mengkaji ulang dan membahasnya, baik dari kajian yuridis, regulasi dan keadilan sosial, ketertiban umum dan lainnya. Itu akan dilakukan agar aspirasi masyarakat dan tentunya hak-hak warga binaan yang telah diatur dalam undang-undang terpenuhi," kata Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Ade Kusnanto yang dihubungi hari ini.
Adapun pertimbangan remisi yang disahkan oleh presiden melalui Keppres 29/2018 dibuat setelah melalui tahapan proses yang panjang, menurut Ade. Hal itu pun dilakukan setelah Susrama menjalani pidana kurang lebih sepuluh tahun.
"Setelah mendapat putusan hakim dan status Susrama berubah menjadi narapidana, ia harus menjalani pembinaan dengan sistem pemasyarakatan dengan asas pengayoman. Ini bertujuan membuat seorang narapidana menyesali perbuatannya, memperbaiki diri, tidak mengulangi kembali tindak pidananya sehingga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat," tuturnya.
Selain aktif dalam pembinaan, warga binaan juga berhak mendapat remisi jika berkelakuan baik dengan syarat, tidak melakukan perbuatan melanggar tata tertib lembaga pemasyarakatan (LP), tidak tercatat dalam buku "register F" atau buku bagi warga binaan yang melanggar tata tertib lapas. (ERIKA KURNIA)