BEKASI, KOMPAS — Kartu Sehat berbasis nomor induk kependudukan atau sistem jaminan kesehatan yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi tidak lagi bisa digunakan semua warga. Keputusan itu merupakan hasil evaluasi kedua sejak program diterapkan pada akhir 2017.
Kartu Sehat berbasis nomor induk kependudukan (KS NIK) merupakan terobosan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi yang mulai diterapkan pada akhir 2017. Seluruh warga kota berhak mendapatkan layanan kesehatan gratis di sejumlah rumah sakit pemerintah dan swasta yang bekerja sama dengan pemerintah menggunakan kartu tersebut.
Tidak ada syarat, batasan penyakit, dan batasan biaya. Semuanya ditanggung pemerintah dengan sumber dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Program tersebut juga merupakan salah satu janji politik pasangan Wali Kota Rahmat Effendi dan Wakil Wali Kota Tri Adhianto Tjahyono saat mengikuti Pilkada 2018.
Namun, pada November 2018, satu bulan setelah pelantikan wali kota dan wakil wali kota, pemerintah mengevaluasi penggunaan kartu tersebut. KS NIK tidak bisa langsung digunakan di rumah sakit. Warga perlu meminta rujukan dari puskesmas sebelumnya.
Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono di Bekasi, Jumat (8/2/2019), mengatakan, sistem jaminan kesehatan itu kembali dievaluasi untuk kedua kalinya. ”Mulai 1 Februari 2019, KS NIK tidak bisa digunakan warga yang sudah menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan,” ujarnya.
Menurut dia, kepemilikan ganda atas sistem jaminan kesehatan itu tidak efisien. Oleh karena itu, penggunaan KS NIK hanya diberikan kepada warga yang bukan peserta BPJS Kesehatan atau warga yang kepesertaannya sudah tidak aktif. KS NIK juga akan menanggung pembiayaan pengobatan penyakit yang tidak dicakup oleh BPJS Kesehatan.
Sepanjang 2018, sebanyak 1,8 juta warga dari total 2,7 juta warga Kota Bekasi sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dengan begitu, warga yang masih ditanggung KS NIK jumlahnya sekitar 900.000 orang. Meski demikian, belum ada rencana pemerintah kota untuk menanggung pembayaran kepesertaan BPJS Kesehatan milik warga.
Tri menambahkan, berdasarkan penghitungan sebelumnya, penjaminan kesehatan warga dengan KS NIK lebih hemat ketimbang membayarkan BPJS Kesehatan dengan dana APBD. Seiring evaluasi kedua ini, biaya yang dibutuhkan juga akan dihitung kembali. ”Jika lebih efektif dengan pembayaran BPJS Kesehatan (dari APBD), itu akan kami lakukan. Tidak ada program yang tidak bisa dievaluasi,” ujarnya.
Anggaran bermasalah
Dana yang dibutuhkan untuk membiayai program KS NIK cukup besar dan cenderung terus naik. Pada pengajuan APBD Murni 2018, pemerintah mengajukan Rp 175 miliar untuk KS NIK. Namun, pada pembahasan APBD Perubahan, jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp 330 miliar (Kompas, 14/11/2018).
Pemerintah Kota Bekasi juga masih berutang kepada sejumlah rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan program KS NIK. Klaim pengobatan belum dibayar dari Juli-September 2018, dengan total utang Rp 200 miliar. ”Pembayaran akan kami lakukan secara bertahap pada 2019, selama ada keuangan daerah akan kami bayar,” kata Tri.
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Kota Bekasi Irwan Heriyanto mengatakan, tunggakan tersebut sudah dibayar pada sebagian rumah sakit. Komunikasi pembayaran dilakukan secara langsung oleh wali kota dengan setiap direktur rumah sakit. Sejauh ini belum ada keluhan dari setiap rumah sakit swasta terkait dengan tunggakan tersebut.
Rancu
Anggota Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Ahmad Ustuchri, mengatakan, evaluasi program KS NIK tidak bisa serta-merta dilaksanakan. Pemerintah semestinya membuat kebijakan pada masa transisi sebab perubahan kebijakan berpotensi memunculkan sejumlah masalah.
Menurut dia, warga bisa terjebak dalam ketidakjelasan sebab selama KS NIK berlaku, banyak warga yang tidak lagi membayar iuran BPJS Kesehatan. Pelayanan bagi mereka pun berpotensi terhambat. Sementara itu, KS NIK tidak bisa digunakan.
Tri menegaskan, warga tidak akan kekurangan layanan kesehatan sebab KS NIK akan menanggung pembiayaan beberapa jenis penyakit yang tidak dicakup BPJS Kesehatan. ”Lagi pula warga dirawat di RSUD dr Chasbullah Abdulmadjid, itu kan rumah sakit pemerintah, jadi kami bisa menyesuaikan,” katanya.
Akan tetapi, fleksibilitas itu tidak bisa terjadi di rumah sakit swasta. Menurut Irwan, penggunaan dua kartu sistem jaminan kesehatan tidak bisa dilakukan. Selain itu, sebagian besar penyakit yang ditangani rumah sakit ditanggung BPJS Kesehatan. ”Adapun yang tidak ditanggung adalah 144 jenis penyakit ringan yang tidak membutuhkan pengobatan di rumah sakit, cukup di puskesmas,” ujarnya.