Perlu Reformasi Mendasar di RI
JAKARTA, KOMPAS — Investasi, bersama konsumsi, menjadi penopang perekonomian Indonesia. Dalam pertumbuhan ekonomi 2018 yang sebesar 5,17 persen, investasi menyumbang 2,17 persen.
Meski demikian, biaya investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih mahal. Kondisi itu tecermin dalam rasio investasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang disebut ICOR.
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia saat ini sebesar 6,3 persen. Dengan demikian, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi memerlukan rasio investasi terhadap PDB sebesar 6,3 persen.
ICOR Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang rata-rata di bawah 5 persen, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan India.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nawir Messi, berpendapat, berbasis pada ICOR tersebut, biaya investasi untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mahal. Salah satu penyebab ICOR Indonesia tinggi adalah tenaga kerja yang mahal.
Kenaikan upah buruh tidak sebanding dengan peningkatan produktivitas industri. Ketersediaan tenaga kerja berkeahlian khusus dan terampil juga masih terbatas. Kondisi ini menyebabkan investasi asing langsung sulit masuk ke dalam negeri.
”Perlu reformasi yang menyentuh persoalan mendasar dari sisi penawaran. Tanpa reformasi itu, kita bermimpi keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah,” kata Nawir.
ICOR Indonesia pernah 4,5 persen pada 2013, tetapi naik menjadi 6,8 persen pada 2014.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per Agustus 2018, dari 124,01 juta orang yang bekerja di Indonesia, sekitar 50,46 juta orang atau 40,69 persen berpendidikan sekolah dasar.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, ICOR Indonesia pada angka sekitar 6 persen cukup tinggi. Idealnya, ICOR negara berpendapatan menengah bawah sekitar 4 persen.
Menurut dia, rasio ini bisa dicapai jika Indonesia membangun industri domestik secara konsisten dan berkelanjutan dalam 2-3 tahun. Untuk itu, pemerintah mengarahkan kebijakan pada sisi penawaran. Kualitas sumber daya manusia ditingkatkan. Tahun ini, pemerintah menyiapkan program jangkar pendidikan dan pelatihan vokasi.
”Pendidikan vokasi akan disinergikan dengan kebijakan Revolusi Industr 4.0,” kata Darmin.
Dalam APBN 2019, pemerintah mengalokasikan 20 persen anggaran untuk pendidikan, yakni Rp 492,5 triliun.
Tidak ramah
Dunia usaha menyoroti tantangan Indonesia saat ini dari sisi ketenagakerjaan. Menurut pelaku usaha, di satu sisi tren investasi padat teknologi kian menguat. Investasi semacam ini untuk mengefisienkan produksi di tengah tantangan kompetisi global yang kian sengit.
Di sisi lain, Indonesia memiliki angkatan kerja dalam jumlah besar, yang sebagian di antaranya sulit terserap sektor industri berteknologi tinggi.
”Dulu, di zaman Orde Baru, 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu memberikan pekerjaan untuk 400.000 orang. Sekarang mungkin tinggal di bawah 200.000 orang. Ini tantangan paling berat buat kita,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit.
Anton menambahkan, tantangan globalisasi, termasuk Revolusi Industri 4.0, tidak ramah terhadap negara yang mempunyai angkatan kerja banyak dengan tingkat pendidikan rendah. Oleh karena itu, perlu kebijakan yang tepat bagi industri padat karya sambil membenahi kualitas angkatan kerja agar mampu mengimbangi tuntutan pasar.
”Tanpa upaya tersebut, tenaga kerja berpendidikan rendah ini tidak akan bisa masuk ke Industri 4.0 yang memerlukan kualifikasi lebih tinggi,” ujarnya.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, realisasi investasi pada triwulan IV-2018 sebesar Rp 185,9 triliun. Pada periode itu, jumlah tenaga kerja Indonesia yang terserap sebanyak 255.239 orang.
Pada triwulan IV-2017, realisasi investasi Rp 179,6 triliun dengan serapan tenaga kerja Indonesia 350.399 orang.
Menurut Anton, masalah tersebut bisa dijawab melalui vokasi. Pemerintah mengalokasikan dana besar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
”Namun, pengusaha juga mesti punya kesadaran, hanya dengan vokasi kita bisa bertahan,” katanya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Properti dan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar berpendapat, program pendidikan vokasi di kawasan industri merupakan salah satu cara paling efektif untuk mendapatkan tenaga kerja siap pakai.
”Program vokasi di kawasan industri tersebut harus terhubung antara industri dan sekolah menengah kejuruan,” kata Sanny.
Saat ini, lanjutnya, ada 25 kawasan industri di sekitar koridor Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Di kawasan itu ada 4.806 perusahaan industri yang menyerap sekitar 950.000 tenaga kerja.
Kepala BKPM Thomas Lembong menambahkan, kemudahan investasi mesti dievaluasi melalui penyederhanaan prosedur. Waktu dan biaya untuk memulai bisnis dan mengurus dokumen dipangkas melalui sistem perizinan terintegrasi berbasis daring (online single submission/OSS).
Berdasarkan data Kemudahan Berbisnis 2019 yang dirilis Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-73. Indonesia kalah dari Malaysia (15), Thailand (27), dan Vietnam (69). (KRN/CAS)