Saatnya Memenjarakan Pemilik Truk Overdimensi
Ada kabar baik sekaligus kurang menyenangkan dari karut-marut dunia transportasi ukuran besar di Provinsi Riau.
Kabar baiknya, Iswandi, pemilik truk overdimensi, dan Edi Li, pemilik bengkel yang mengubah truk menjadi overdimensi, dihukum oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Kamis (7/1/2019) dengan denda masing-masing Rp 12 juta. Hakim Ketua Sorta Ria Neva menyatakan, kedua terdakwa itu terbukti bersalah melanggar Pasal 277 jo Pasal 50 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Inilah kasus hukum pertama di negara ini, pemilik dan pemodifikasi truk overdimensi dibawa ke meja hijau. Biasanya, truk overdimensi, dan pasti membawa muatan berlebih, dianggap sebagai pelanggaran ringan sehingga hanya dikenai denda dengan bukti pelanggaran (tilang) yang juga kecil. Yang terkena denda pun hanya sopir, sedangkan pemilik truk bermasalah aman-aman saja tanpa gangguan.
Namun, kali ini, Balai Pengelolaan Transportasi Darat (BPTD) Wilayah IV Riau dan Kepulauan Riau melakukan pemeriksaan menurut aturan hukum pidana dalam UU No 22/2009. Setelah dilakukan pemberkasan oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) BPTD Wilayah IV, kasus itu diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Pekanbaru untuk disidangkan.
Baca juga: Di Riau, Pemilik Truk dan Bengkel Over Dimensi Dipidana
Dalam Pasal 277 undang-undang tersebut, disebutkan bahwa pelaku tindakan mengubah dimensi truk diancam pidana penjara selama 1 tahun atau denda (maksimal) sebesar Rp 24 juta.
Hanya dalam tempo sepekan, kasus itu sudah divonis. Sayangnya, putusan hakim hanya memberi denda sebesar Rp 12 juta. Memang ada hukuman tambahan, pemilik harus mengembalikan ukuran truk ke bentuk semula.
Dari bentuk hukuman itu, hakim jelas tidak berniat menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada terdakwa. Padahal, dalam Pasal 277 itu, ada ketentuan hukuman badan selama setahun.
Kalau dinilai dari denda maksimal Rp 24 juta, hukuman terhadap Iswandi dan Edi Li itu hanya setengah dari hukuman denda tertinggi. Angka denda itu sangat kecil untuk ukuran pemilik usaha transportasi yang rata-rata memiliki aset puluhan miliar rupiah.
Hukuman badan
Kepala BPTD Riau Syaifuddin Ajie Panatagama yang dihubungi pada Jumat (8/2/2019) pagi mengapresiasi putusan Hakim Sorta. Putusan itu akan tercatat dalam tinta sejarah perjalanan hukum transportasi di Tanah Air.
Meski demikian, Syaifuddin sebenarnya lebih mengharapkan hakim memberikan hukuman badan kepada terdakwa. Hukuman badan diyakini lebih mendukung langkah BPTD mempercepat standardisasi kendaraan berat agar sesuai aturan.
”Di mata kami, perbuatan modifikasi kendaraan adalah kejahatan yang harus diberi sanksi tegas dan memiliki efek jera. Tindakan mereka tidak hanya menyebabkan kerugian negara, tapi juga merugikan pengguna jalan lainnya,” kata Syaifuddin.
Pengamat sosial Riau, Rawa El Amady, mengatakan, putusan hakim bersifat abu-abu. Dari satu sisi, hakim menyatakan perbuatan terdakwa itu sebagai perbuatan pidana dan menghukum pemilik truk overdimensi. Namun, vonis itu setengah hati dan tidak berarti.
”Salah satu fungsi hukuman bertujuan untuk memunculkan efek jera agar pelaku lain mengurungkan niat melakukan kejahatan yang sama. Saya menilai, denda kecil itu kurang mampu menciptakan efek jera. Saya justru mempertanyakan pertimbangan hakim yang tidak mengaitkan kasus itu dengan dampak kerusakan jalan yang diakibatkan muatan berlebih truk-truk itu,” tutur Rawa.
Denda kecil kurang mampu menciptakan efek jera. Justru dipertanyakan pertimbangan hakim yang tidak mengaitkan kasus itu dengan dampak kerusakan jalan yang diakibatkan muatan berlebih truk-truk itu.
OK Azrial, Kepala Bidang Hubungan Darat Dinas Perhubungan Riau, mengungkapkan, secara nasional kerugian negara dari kerusakan jalan yang disebabkan angkutan truk yang membawa muatan berlebih mencapai Rp 34 triliun dalam satu tahun. Untuk Riau saja, kerugian akibat kerusakan jalan lebih dari Rp 1 triliun.
Ia mengatakan, setiap truk yang bakal dipasarkan di Indonesia wajib memiliki persyaratan teknis. Pasal 48 UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas Jalan Raya mengharuskan kendaraan memiliki rancang teknis sesuai peruntukan.
”Pasal 49 (UU No 22/2009) menyebutkan, setiap kendaraan yang dinyatakan layak masuk ke Indonesia harus memiliki SRUT (sertifikat rancang-bangun uji tipe). SRUT berisi ketentuan dimensi panjang, lebar, dan tinggi kendaraan. SRUT juga berisi data total muatan dan berat kendaraan. Dengan mengubah dimensi, berarti sudah menyalahi SRUT itu,” tutur Azrial.
Namun, lanjutnya, kasus overdimensi dan overload di Riau bukanlah cerita baru. Pada tahun 1980-an, tatkala angkutan kayu (truk balak) merajalela, hampir semua truk menyalahi aturan. Tidak mengherankan apabila jalan raya di Riau lebih banyak yang rusak daripada yang bagus terpelihara.
Sayangnya, Dinas Perhubungan Riau belum memiliki data jumlah truk yang beroperasi di Riau. Ditambah lagi, masih banyak truk yang beroperasi menggunakan surat kendaraan dari daerah lain. Data tidak resmi menyebutkan, truk pengangkut kayu dan truk pengangkut CPO di Riau berjumlah belasan ribu unit.
Keberadaan jembatan timbang masa lalu yang mengawasi truk muatan berlebih seakan tidak berdampak. Pungli di jembatan timbang justru lebih marak daripada truk yang didenda kelebihan muatan.
Awalnya pendek
Henry Tambunan, PPNS BPTD Wilayah IV, menyebutkan, truk yang overdimensi di Riau memiliki karakteristik seragam. Umumnya, pemilik truk membeli kendaraan berukuran pendek, kemudian memodifikasinya di bengkel khusus.
Di bengkel, ukuran sasis diperpanjang. Truk yang semula 12 meter, misalnya, diperpanjang menjadi 15 meter. Untuk mengatasi keseimbangan, truk juga dipasangi gardan tambahan sehingga jumlah roda bertambah.
Setelah rangka bawah dimodifikasi, bak atau tangki kendaraan di bagian atas diubah dengan ukuran yang lebih panjang dan lebih tinggi. Secara otomatis, kendaraan itu dapat membawa muatan lebih besar.
”Truk yang semula memiliki JBI (jumlah berat yang diizinkan) 23 ton, setelah dimodifikasi, dapat membawa muatan sampai 45 ton,” kata Tambunan.
Dengan kelebihan muatan yang dua kali lebih besar dari JBI, jelas hal itu mengakibatkan kerusakan jalan yang luar biasa di Riau.
Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Riau, sekitar 1.000 kilometer dari total 2.888 kilometer jalan provinsi dalam kondisi rusak. Sepanjang 793 kilometer berkategori rusak berat dan 367 kilometer rusak ringan.
Kerusakan juga ditemukan di jalan nasional. Dari total 1.336,61 kilometer jalan nasional, lebih dari 20 persen dalam kondisi rusak. Padahal, setiap tahun jalan itu dirawat dan diperbaiki oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Total kerugian negara mencapai Rp 1 triliun dari kerusakan jalan di Riau. Hal ini tidak sebanding dengan manfaat ekonomi yang dihasilkan dari sektor transportasi hasil hutan dan hasil pertanian kelapa sawit di Riau.
Sudah terlalu lama negara kalah dan bersifat pasif terhadap pemilik truk penghancur jalan raya yang hanya menimbang keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Jadi, bagaimana penyelesaian masalahnya? Jelas diperlukan revisi UU No 22/2009 terutama ketentuan ancaman hukuman pidana yang dijatuhkan. Hukuman pidana penjara seperti isi Pasal 277 tidak boleh lagi menjadi pilihan, tetapi bersifat wajib.
Sudah terlalu lama negara kalah dan bersifat pasif terhadap pemilik truk penghancur jalan raya yang hanya menimbang keuntungan pribadi dan kelompoknya. Jika tidak, pada kasus-kasus selanjutnya, hakim seperti Sorta tidak akan ragu atau merasa bersalah memakai ketentuan denda kecil daripada memberikan hukuman badan yang mampu membuat pelaku jera.