Semangat ”Panjebar Semangat”
Surabaya memiliki majalah berbahasa Jawa. Kelahirannya dilandasi semangat kuat untuk mencerdaskan bangsa di tengah minimnya penduduk yang mampu berbahasa Indonesia saat itu. Majalah itu eksis hingga kini.
Dengan semangat juang yang sama, mereka kini menjaga akar budaya bangsa di tengah kuatnya gempuran budaya asing.
Anabelle membaca cerita wayang di majalah berbahasa Jawa, Jaya Baya, di teras kelas, Rabu (23/1/2019). Siswa kelas IX SMPN 6 Surabaya ini tampak kesulitan. Beberapa kali bacaannya tersendat, pelafalannya terdengar kaku.
Siswa kelas VII, Shafarina, mengalami kesulitan yang sama. Alih-alih memahami maknanya, mengucapkan kata dalam bahasa Jawa dengan benar pun masih kesulitan. Mereka perlu bimbingan guru Bahasa Daerah, Eras Lusiana.
Bagi generasi milenial, membaca majalah yang diproduksi oleh PT Jaya Baya Prabu Gendrayana ini bukan perkara mudah. Sebab, majalah mingguan yang terbit sejak 1 Desember 1945 di Kota Kediri, Jawa Timur, ini menggunakan bahasa krama madya, bukan krama inggil (halus), tetapi juga bukan bahasa ngoko (kasar).
Sebagian guru, seperti Eras, menjadikan majalah yang memiliki tiras 10.000 eksemplar ini bahan untuk memperkaya materi ajar dalam mengimplementasikan kurikulum muatan lokal bahasa daerah.
Sementara itu, sekitar 10 kilometer dari SMPN 6 Surabaya, di ruang redaksi majalah Jaya Baya, enam orang duduk di depan layar komputer. Mereka adalah awak redaksi yang sedang mengejar tenggat tulisan untuk majalah edisi minggu III, Januari 2019.
Ada redaktur yang mengoreksi cerita pendek, ada yang mempersiapkan kartun dan karikatur, juga ada yang mengoreksi tulisan dari pembaca. Sesekali terlontar canda diiringi tawa untuk mencairkan suasana. Tak tampak anak muda di antara mereka.
”Usia termuda 45 tahun dan tertua 77 tahun. Saya 73 tahun dan sudah dipensiun oleh perusahaan, tetapi nekat kembali lagi,” ujar Yunani, pembantu khusus redaksi yang menangani rubrik cerita pendek.
Pemimpin Redaksi Jaya Baya Titah Rahayu mengatakan, para awak redaksi bekerja dengan dedikasi tinggi. Mereka selalu bersemangat meski gaji jauh di bawah upah minimum regional. Sudah pensiun pun mereka tetap kembali karena mencintai pekerjaannya.
Dedikasi inilah yang menjadi modal kuat untuk mempertahankan eksistensi majalah di tengah tantangan yang semakin dinamis. Salah satunya adalah biaya cetak majalah yang terus meningkat karena mahalnya harga kertas.
”Untuk menghindari kerugian, kami mencetak majalah sesuai jumlah pelanggan. Nyaris tidak ada iklan,” kata Titah.
Jauh sebelum Jaya Baya lahir, Surabaya memiliki majalah berbahasa Jawa yang legendaris, Panjebar Semangat. Majalah yang didirikan oleh tokoh pergerakan nasional dr Soetomo pada 1933 ini pernah dibredel oleh Jepang, tetapi terbit kembali pada 1942 dan eksis hingga kini.
Pemimpin redaksi sekaligus pemimpin perusahaan, Arkandi Sari, menuturkan, seperti halnya Jaya Baya, napas hidup Panjebar Semangat berada di tangan pelanggan yang setia. Sebanyak 15.000 pelanggan saat ini rata-rata berusia tua. Mereka adalah pegawai, guru, dan pensiunan.
Regenerasi
Beragam upaya ditempuh untuk meregenerasi sekaligus memperluas cakupan pelanggan, misalnya membuat portal www.panjebarsemangat.co.id yang menyasar generasi milenial. Kontennya sama persis dengan versi cetak. Layanan versi daring bagi pelanggan ini berbayar karena memerlukan investasi yang tidak sedikit.
Terobosan lain ditempuh melalui aktivitas offprint dengan menggelar acara terkait kebudayaan, seperti seminar dan lomba geguritan (puisi). Ada pula rubrik baru Narayana, sisipan dengan materi untuk anak-anak, yang terbit dua minggu sekali.
Tarif langganan Panjebar Semangat di Jawa Rp 16.000 per eksemplar dan luar Jawa Rp 17.000. Secara bisnis, tarif itu kurang ideal karena hampir tak ada iklan. Namun, pengelola punya tanggung jawab mempertahankan majalah yang kini diawaki 36 karyawan, termasuk redaksi, percetakan, dan administrasi.
Upaya membangun komunikasi dengan pelanggan terus dilakukan, misalnya melalui penerimaan tulisan dari pembaca. Ada banyak rubrik yang bisa diisi oleh kontributor untuk membangun rasa ikut memiliki. Contohnya: rubrik Opo Tumon, Sinau Aksara Jawa, Tembang, Cerita Cekak, dan Alaming Lelembut.
Redaktur Pelaksana Panjebar Semangat Aryo Tumoro yang bergabung sejak 1982 mengatakan bangga menjadi wartawan dan bagian dari keluarga besar majalah yang turut mewarnai sejarah bangsa. Setidaknya dia bisa berkontribusi dalam melestarikan budaya dan bahasa Jawa.
Presiden Soekarno pada 1953, dalam peringatan 20 tahun majalah Panjebar Semangat, menuliskan doa dan harapan yang diterima Darmo Sugondo, reporter RRI merangkap pembantu istimewa Panjebar Semangat. Tulisan itu dipajang di dinding dekat pintu masuk ruang redaksi.
”Kabeh madjalah kang mbiyantu marang perdjoangan nasional gede gunane. Tak dungakke, muga-muga Panjebar Semangat lestari mbiyantu perdjoangan kita iki (Semua majalah yang membantu perjuangan kemerdekaan besar manfaatnya. Saya doakan semoga Panjebar Semangat lestari membantu perjuangan kita ini).”
Nilai-nilai yang diperjuangkan Panjebar Semangat disampaikan dr Soetomo. ”Semangat kang kita sebarake iki jaikoe, semangat kang bangoenake kesadaran lan bisa nglairake goemregahe bangsa kita, ngabdi marang keadilan (Semangat yang kita sebarkan, yaitu semangat yang membangun kesadaran yang bisa melahirkan bangsa kita, mengabdi pada kebenaran, tunduk pada kesucian, serta patuh pada keadilan).”
Pesan dr Soetomo yang kini menjadi slogan majalah adalah ”Sura Dira Djajaningrat Lebur Dening Pangastuti” (segala kekuatan negatif di masyarakat bisa ditaklukkan dengan sopan santun, merendah, dan bijaksana).
Pesan dan semangat ini tidak pernah usang hingga kini. Semangat Panjebar Semangat. (RUNIK SRI ASTUTI/ADI SUCIPTO K/DAHLIA IRAWATI)