JAKARTA, KOMPAS - Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memimpin upacara gelar Operasi Penegakan Ketertiban dan Yustisi POM TNI 2019 di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (8/2/2019). Dalam amanatnya, Hadi menyebutkan, TNI harus mampu mengikuti perkembangan teknologi guna menghadapi ancaman serangan siber terhadap negara.
Operasi Penegakan Ketertiban (Gaktib) dan Yustisi merupakan upaya untuk memelihara dan meningkatkan profesionalitas TNI dengan lebih memahami hukum dan mematuhinya. Hukum harus ditaati dan dipatuhi tidak hanya ketika perang, akan tetapi juga di masa-masa damai.
Hadi menegaskan, pemahaman dan kepatuhan terhadap hukum semakin mengemuka seiring dengan kompleksitas perkembangan situasi masyarakat. Selain itu, perkembangan teknologi secara masif melahirkan ancaman baru, yakni serangan siber.
"TNI harus mampu mengikuti perkembangan teknologi agar dapat mengantisipasi ancaman siber melalui perangkat elektronik maupun media sosial terhadap kedaulatan negara. Selain itu, juga untuk mencegah dan membentengi pengaruh negatif media sosial serta menjaga nama baik TNI," ucap Hadi.
Hadi menyebutkan, TNI berkomitmen menjaga netralitas seraya berkonsentrasi membantu pengamanan pemilihan umum agar aman, damai dan lancar. Operasi gaktib dan yustisi juga untuk membangun kesadaran ketaatan pada komitmen tersebut.
Jaga netralitas
Dalam operasi gaktib dan yustisi kali ini, terdapat penekanan yang harus dipedomani, yaitu peningkatan kepatuhan pada peraturan yang berlaku dan pegang teguh netralitas dalam pemilihan umum.
"Hasil operasi tahun 2018 menunjukkan adanya kenaikan kasus seperti desersi, mangkir, pelanggaran disiplin, dan lalu lintas. Namun, di sisi lain ada penurunan kasus narkoba, penyalahgunaan senjata api, dan perselisihan dengan Polri dan sipil," katanya.
Peningkatan status komando teritorial seperti Korem dan Kodam difokuskan pada daerah perbatasan dan dengan tingkat kerawanan tinggi. Hal itu berguna untuk menangkal ancaman terhadap negara sekaligus menjauhkan militer dari pusat politik.
Pengamat Militer dan Pertahanan Universitas Padjadjaran Muradi mengatakan, peningkatan status komando teritorial ditujukan pada daerah dengan karakteristik ancaman dari luar yang besar, seperti daerah perbatasan dan terluar. Peningkatan itu, selain untuk memperbesar jumlah pasukan di perbatasan juga untuk penguatan komando dalam menggerakkan pasukan.
"Peningkatan itu bukan hal baru. Peningkatan dilakukan agar daya tangkal terhadap ancaman menjadi lebih besar. Kenaikan dari Kolonel ke Brigjen berguna untuk menggerakkan dan menambah kapasitas pasukan," ucap Muradi yang dihubungi dari Jakarta.
Reorganisasi
Muradi menyebutkan, penumpukan perwira menengah merupakan konsekuensi dari reorganisasi yang terlambat. Sejak reformasi, reorganisasi tidak optimal.
Revisi UU TNI bertujuan agar daya legal menjadi lebih kuat. Muradi mencontohkan, penempatan personel TNI di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum tercantum di dalam undang-undang. Hal itu berbahaya di kemudian hari dari aspek legal.
"Reorganisasi sebagai bagian penguatan negara. Reorganisasi berbeda dari persoalan pembengkakan perwira menengah. Status komando teritorial dinaikkan untuk memperkuat pertahanan negara di perbatasan," katanya.
Selain itu, reorganisasi juga menjauhkan TNI dari perpolitikan. Personel TNI akan disebar ke daerah-daerah perbatasan sehingga fokus pada penanganan pertahanan negara.
Anggota Dewan Pakar Habibie Center Indria Samego menyebutkan, reorganisasi TNI harus dimulai dari persepsi tentang pertahanan baru. Lalu, ditentukan postur pertahanan yang dibutuhkan sehingga dapat ditentukan organisasi, dan sumber daya manusia.
"Selama ini, TNI banyak orientasi ke pertahanan di darat dan manusia. Padahal, jaman sudah berubah di mana teknologi memegang faktor penting. Dengan pemikiran bahwa saat ini dunia telah masuk dalam era Revolusi Industri 4.0 itulah organisasi TNI dibentuk," ucap Indria.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, dinamika pertahanan dunia masa kini lebih mengutamakan teknologi dan kualitas personel yang profesional. Hal tersebut, berbeda dengan zaman dahulu yang berorientasi kuantitas personel. Banyak negara yang mulai menata militernya ke arah kualitas personel serta penggunaan teknologi.
Ia mencontohkan, Belanda telah melikuidasi Batalion Tank Leopard karena beban anggaran dan efektivitas bagi militernya. Adapun, Amerika Serikat dan Inggris terus mengembangkan divisi perang siber. Mereka menganggap potensi serangan siber sangat berbahaya dan itulah perang masa kini.
"Perang modern lebih mengutamakan teknologi dan kualitas. Negara-negara berlomba memperkuat keamanan sibernya. Indonesia juga membangun itu (keamanan siber), akan tetapi militer tidak memerangi hoaks," katanya. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)