JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi dari energi fosil menuju energi bersih dan terbarukan sangat bergantung pada niat politik pemerintah. Di satu sisi, ada sejumlah kendala dalam pengembangan energi terbarukan di dalam negeri, seperti dukungan pendanaan dari perbankan dan regulasi yang belum ramah terhadap investasi. Namun, dari sumber daya sebesar 400.000 megawatt di Indonesia, pemanfaatannya masih kurang dari 10.000 megawatt.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi publik bertajuk ”Ekonomi Batubara, Akankan Dilanjutkan oleh Presiden Terpilih?” yang diselenggarakan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Kamis (7/2/2019), di Jakarta.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi itu antara lain Kepala Kajian Lingkungan LPEM UI Alin Halimatussadiah, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya, Kepala Analis Bidang Energi The Economist Intelligence Unit Peter Kiernan, anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra Ramson Siagian, serta Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional Arif Budimanta.
”Indonesia jangan sampai kehilangan manfaat dari biaya pengembangan energi terbarukan yang kian murah. Kalau tidak mulai saat ini, Indonesia akan semakin tertinggal. Semua memang sangat bergantung pada niat politik pemerintah. Apalagi, regulasi energi terbarukan kurang begitu mendukung (terhadap pengembangan),” kata Alin.
Indonesia, lanjut Alin, masih sangat bergantung pada energi primer jenis batubara. Padahal, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat beragam dan melimpah, seperti tenaga surya, bayu, panas bumi, atau hidro. Pengembangannya harus disesuaikan dengan potensi di wilayah tersebut.
Tata menambahkan, peristiwa pemilihan presiden dan wakil presiden untuk periode 2019-2024 adalah peristiwa penting bagi Indonesia untuk melakukan arus balik pemanfaatan secara optimal dari energi fosil ke energi terbarukan. Namun, ia sepakat bahwa semua itu sangat bergantung pada pemerintahan baru yang terpilih nanti.
”Ini (pemilihan presiden dan wakil presiden) adalah peluang. Tetapi, semua kembali pada komitmen politik presiden terpilih nanti. Bagaimana energi terbarukan semakin dikembangkan dan tantangannya agar dapat menciptakan tenaga kerja baru. Apalagi, biaya energi terbarukan semakin lama semakin murah,” ucap Tata.
Dalam sistem pembangkit listrik per 2018 lalu, porsi batubara masih terbesar (60,5 persen) sebagai sumber energi primer pembangkit. Selanjutnya adalah gas 22,1 persen, energi terbarukan 12,4 persen, dan bahan bakar minyak sebesar 5 persen. Khusus untuk bahan bakar minyak terjadi penurunan signifikan sejak 2014, yang porsinya sebesar 11,8 persen.
Ketergantungan
Arif mengakui, bauran energi di Indonesia masih sangat bergantung pada batubara. Pasalnya, ketersediaan batubara di Indonesia melimpah dan biaya pengembangannya pun masih paling murah dibandingkan gas, bahan bakar minyak, atau sumber energi terbarukan. Namun, katanya, pemerintah punya komitmen kuat untuk terus meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan energi fosil.
”Batubara tak perlu diimpor dan harganya murah. Masih banyak penduduk yang berpendapatan rendah sehingga perlu akses terhadap listrik dengan harga murah. Maka, batubara masih menjadi pilihan,” ucap Arif.
Sementara itu, Ramson mengatakan bahwa pengembangan batubara masih lebih murah dibandingkan sumber energi primer lain di Indonesia. Oleh karena itu, ucapnya, pengembangan energi terbarukan membutuhkan dukungan kebijakan, misalnya pemberian insentif fiskal. Selain itu, pengembangan energi terbarukan harus dalam skala besar agar tercapai nilai keekonomian investasinya.
”Di masa mendatang, perlu direvisi kontrak program pembangkit 35.000 megawatt yang semula menggunakan batubara agar beralih ke sumber energi terbarukan,” ujar Ramson.