CIANJUR, KOMPAS — Sejumlah petani jagung di Jawa Barat belum menikmati harga jual ideal. Mereka masih menjual jagung kepada tengkulak di bawah harga pasaran.
Presiden Joko Widodo mendapati hal tersebut saat berdialog dengan beberapa petani penerima lahan perhutanan sosial di Wana Wisata Pokland, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (8/2/2019). Saat itu, Presiden menyerahkan 42 Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) serta Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin). SK tersebut menandai pengelolaan lahan perhutanan sosial seluas 13.976 hektar oleh 8.941 rumah tangga.
Dalam sesi tanya jawab, Presiden berdialog dengan beberapa petani. Salah satunya Suparno, petani Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tak hanya menanam padi, Suparno juga menanam jagung pada masa jeda tanam padi. Dari 1 hektar, Suparno bisa panen sekitar 4 ton jagung.
Presiden pun menanyakan harga jual jagung ini. Suparno menjawab, setiap kilogram jagung kering dijual Rp 3.500. Presiden terkejut dan kembali bertanya. ”Lho, biasanya saya baca di koran sudah naik Rp 5.000-Rp 6.000. Masih Rp 3.500?” tanyanya memastikan. Presiden pun menanyakan berapa biaya produksi per kilogram jagung. Suparno hanya menyebutkan untuk 1 hektar jagung butuh 6 kuintal pupuk.
Dalam laporan yang diterima Presiden, biaya produksi per kg jagung Rp 2.000. Dengan demikian, harga jual Rp 3.500 per kg masih menyisakan untung. Namun, ketika harga yang beredar Rp 5.000-Rp 6.000 per kg adalah jagung kering, Presiden mempertanyakan perbedaan ini.
”Di mana sisanya? Apa di tengkulak?” lanjut Presiden. Suparno membenarkan.
Kepada wartawan, Presiden mengakui mekanisme pasar saat ini memang demikian. Pemerintah tak ingin merusaknya. Namun, Menteri Perdagangan akan diminta untuk mengecek siapa pihak yang mendapat untung paling banyak.
”Produsen semestinya untung banyak, pedagang juga. Itu yang kita inginkan,” ujarnya.
Penyerahan lahan perhutanan sosial ini dihadiri pula Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, serta Menteri BUMN Rini Soemarno. Selain itu, ada juga Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Menurut Presiden, program perhutanan sosial yang dilakukan dua tahun terakhir ini sudah mendistribusikan lahan seluas 2,53 juta hektar. Adapun target lahan perhutanan sosial yang didistribusikan kepada kelompok-kelompok warga adalah 12,7 juta hektar.
Presiden Jokowi menyebut hak pengelolaan lahan kini diberikan kepada warga, bukan kepada pemilik-pemilik modal besar. Dulu, hak pengelolaan hutan mencapai 200.000-300.000 hektar, tetapi tidak menjangkau masyarakat. Lahan perhutanan sosial ini bisa dikelola warga selama 35 tahun.
”Tapi, kalau sudah diberikan seperti ini, jangan dipikir tidak saya cek. Setiap tahun akan saya cek, digunakan atau tidak, ditelantarkan atau tidak, produktif atau tidak,” tuturnya.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menambahkan, pengelolaan hutan oleh rakyat dapat mengurangi kesenjangan antara Jawa Barat utara dan selatan. Cianjur sebagai salah satu daerah hijau juga memiliki potensi kehutanan. Ia berujar, jika dikelola rakyat, potensi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan.
”Jabar selatan didominasi daerah rural dan perdesaan. Diharapkan dengan pemberian hak pengelolaan hutan, jurang antara utara dan selatan bisa dikurangi,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di KLHK Bambang Supriyanto mengatakan, pengawasan pengelolaan hutan rakyat ini dilakukan dan dievaluasi setiap lima tahun. Dengan evaluasi ini, pemerintah akan melihat sejauh mana masyarakat mampu mengelola lahan secara mandiri tanpa menghilangkan fungsi hutan itu sendiri.
Bambang menegaskan, masyarakat tidak boleh menyerahkan pengelolaan kepada perusahaan besar. ”Subyek pengelolaan ini adalah rakyat. Asistensi boleh-boleh saja, tetapi tidak pengelolaan langsung dan masyarakat diam saja. Kalau itu terjadi, akan diberikan peringatan,” paparnya.
Peringatan dan penyuluhan yang diberikan tetap memiliki batasan. Bambang mengingatkan, jika lebih dari tiga kali peringatan warga tetap tidak mengelola lahan mandiri dengan maksimal, hak pengelolaan lahan itu terancam dicabut.