JAKARTA, KOMPAS — Ulama mampu berperan lebih kuat mendewasakan umat dalam berpolitik dan menyikapi keterbukaan informasi yang ditawarkan media sosial. Peran ini dipastikan akan membantu masyarakat Indonesia tetap bersatu.
Keterbukaan informasi di media sosial, diakui Presiden Joko Widodo, bisa menjadi masalah. Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia. Berita bohong dan semburan fitnah bisa meluncur tanpa henti. Sebab, tidak ada editor di media sosial, seperti halnya di media massa. Setiap individu bisa membuat sendiri berita yang diinginkannya.
”Medsos (media sosial) betul-betul tidak bisa dihambat atau dilarang. Yang penting bagaimana membentengi negara kita dengan budi pekerti yang baik, dengan karakter keindonesiaan yang baik, dengan tata krama, dengan nilai-nilai agama yang baik,” kata Presiden Joko Widodo saat bersilaturahmi dengan sekitar 400 ulama dari Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi di Istana Negara, Jakarta, Kamis (7/2/2019) siang. Dalam pertemuan itu, Presiden didampingi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Keterbukaan informasi di media sosial ini bercampur dengan kepentingan sesaat dalam kontestasi politik. Kondisi ini tidak menjadi masalah jika sudah ada kematangan dalam berpolitik.
Ketua Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta KH Zulfa Mustofa mengatakan, para ulama juga prihatin dengan maraknya berita bohong dan fitnah. ”Ulama punya tanggung jawab moral untuk menangkal berita bohong. Khotbah bisa mengajak masyarakat tetap menjaga persatuan dan perdamaian, termasuk tidak cepat percaya pada fitnah,” ujar Zulfa.
”Ulama punya tanggung jawab moral untuk menangkal berita bohong. Khotbah bisa mengajak masyarakat tetap menjaga persatuan dan perdamaian, termasuk tidak cepat percaya pada fitnah,” ujar Zulfa.
Pratanwir Muhammadiyah
Di Malang, Jawa Timur, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menilai, keberagamaan di negeri ini masih moderat meskipun kondisi politik memanas menjelang pemilihan presiden. Kemoderatan itu bisa terus berlangsung sejauh tak dibawa ke politik partisan. Perlu kepedulian semua pihak untuk menjaganya.
”Karena itu, ketika ada benih yang cenderung ekstrem atau ada politisasi agama dan lainnya, tugas kita, kelompok-kelompok civil society, organisasi kemasyarakatan, dan media massa yang menjunjung tinggi obyektivitas harus jadi kekuatan kontrol,” kata Haedar seusai menjadi pembicara kunci dalam Sarasehan Kebangsaan Pratanwir di Universitas Muhammadiyah Malang, Jatim, yang dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, A Malik Fadjar, dan lainnya.
Menurut Haedar, elite politik sebaiknya menahan diri untuk tidak mengeruhkan suasana. Mereka lebih baik melontarkan pernyataan yang produktif dan merengkuh ketimbang pernyataan yang kontra. Bagaimanapun politik perlu upaya simpatik, bukannya konfrontasi.