Kasus demam berdarah dengue di Jawa Barat sepanjang Januari 2019 mencapai 2.461 kasus. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan bulan lalu sekaligus menjadi yang tertinggi dalam setahun terakhir.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kasus demam berdarah dengue di Jawa Barat sepanjang Januari 2019 mencapai 2.461 kasus. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan bulan lalu sekaligus menjadi yang tertinggi dalam setahun terakhir.
Dari jumlah itu, sebanyak 18 penderita meninggal dunia. Keterlambatan deteksi dini membuat penderita baru ditangani medis saat kondisinya sudah kritis karena mengalami dengue shock syndrome.
Peningkatan kasus DBD itu harus diwaspadai agar tidak terus bertambah. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyiapkan surat edaran gubernur untuk bupati dan wali kota dalam mengantisipasi lonjakan kasus tersebut.
”Saat ini kasus DBD agak tinggi walaupun belum kejadian luar biasa (KLB). Supaya tidak terjadi KLB, kami menyiapkan beberapa langkah lewat surat edaran gubernur yang akan keluar pekan depan,” ujar Asisten Pemerintahan, Hukum, dan Kesejahteraan Sosial Pemprov ” Daud Achmad di Kota Bandung, Jumat (8/2/2019).
Daud mengatakan, surat edaran itu menginstruksikan bupati dan wali kota di Jawa Barat untuk mengaktifkan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), memaksimalkan juru pemantau jentik (jumantik), dan menyiapkan kelompok kerja pemantau kasus DBD hingga tingkat RT/RW. Selain itu, pelayanan fasilitas kesehatan untuk pasien DBD juga juga ditingkatkan.
”Deteksi dini perlu diperkuat dengan mengenali gejala-gejalanya. Jadi, masyarakat bisa langsung memeriksakannya ke puskesmas atau rumah sakit,” ujar Sekretaris Dinas Kesehatan Jawa Barat Uus Sukmara.
Dari 2.461 kasus pada Januari 2019, sebanyak 18 penderita meninggal dunia.
DBD dipicu virus dengue yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti. Gejalanya adalah demam tinggi sekitar 39 derajat celsius, ruam, serta nyeri otot dan sendi.
”Apabila terjadi demam tinggi secara tiba-tiba, segera periksa ke dokter. Apalagi jika di sekitarnya terdapat warga yang terkena DBD,” ujarnya.
Menurut Uus, peningkatan kasus DBD disebabkan populasi nyamuk yang meningkat pada musim hujan sebab banyak tempat yang dapat dijadikan nyamuk bertelur.
Nyamuk Aedes aegypti bertelur di air bersih, seperti di bak mandi, tempayan, vas bunga, dan tempat genangan air lainnya. Juga talang di atas rumah yang jarang teramati.
”Telur nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan enam bulan di tempat kering. Ketika ada genangan air, telur dapat menetas dalam dua hari,” ujarnya.
Ancaman masih tinggi
Ancaman DBD di Jawa Barat diprediksi masih tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Barat 2014-2018, kasus tertinggi terjadi pada Januari, Februari, dan Maret.
”Jika upaya memberantas sarang nyamuk berhasil, kasus pada Februari bisa menurun. Maret dan seterusnya juga berpotensi turun. Jadi, tantangannya adalah mengurangi populasi nyamuk,” ujarnya.
Uus juga mengajak masyarakat memahami cara mengurangi populasi nyamuk. Itu karena banyak warga bergantung pada pengasapan (fogging) di kawasan yang warganya terdampak DBD.
”Fooging memang membuat nyamuk dewasa mati, tetapi tidak dengan telur-telurnya. Jadi, fooging tidak efektif tanpa diikuti PSN,” ucapnya.
Selain di rumah, menurut Uus, PSN juga harus dilakukan di perkantoran dan sekolah sebab nyamuk Aedes aegypti aktif pada pagi hari sekitar pukul 08.00-10.00.
Ketua Tim Penggerak Pembina Kesejahteraan Keluarga Jawa Barat Atalia Praratya mengajak masyarakat aktif melakukan gerakan 3 M, yaitu menutup penampungan air, menguras bak mandi, dan memanfaatkan kembali barang bekas yang dapat menampung air.
”Bisa juga memelihara ikan untuk memakan jentik nyamuk, seperti ikan cupang dan ikan mas,” ujarnya.