Benang Kusut di Filipina Selatan
Kekerasan di Filipina selatan memiliki akar panjang dalam sejarah regional. Kerja sama tiga negara diharapkan tidak hanya berhenti pada pendekatan keamanan.
Pusat kota Jolo, Minggu, 27 Januari 2019, pagi bergetar. Di tengah misa pukul 08.28 waktu setempat di Katedral Jolo, dekat alun-alun Plaza Rizal yang berjarak 300 meter dari bandara dan 400 meter dari pelabuhan, sepasang pengebom bunuh diri meledakkan diri. Sebanyak 20 orang tewas. Korban jiwa tercatat 14 warga sipil, lima prajurit, dan seorang anggota Badan Keamanan Laut (Coast Guard).
Lokasi katedral dan kantor Vikaris Sulu itu terletak tidak jauh dari jalan utama, yakni Jalan Gandasuli dan Jalan Scott, di mana berada Rumah Sakit Provinsi Sulu, tempat evakuasi utama para korban serangan bom.
Serangan terjadi ketika faksi-faksi bertikai di Filipina selatan, yakni MILF di bawah Haji Murad Ebrahim di Cotabato, Mindanao, MNLF di bawah Nur Misuari di Sulu, dan Gubernur Daerah Otonomi Muslim Moro (ARMM), sedang memperjuangkan Konstitusi Bangsamoro (Bangsamoro Basic Law) dan perluasan otonomi Muslim mencapai wilayah Pulau Palawan yang dilakukan dengan Kongres (DPR) Filipina di Manila. Adapun kelompok ekstrem Abu Sayyaf Group (ASG, atau disebut juga Abus di Filipina) tetap berkeras mengangkat senjata. Serangan Minggu dalam misa di Katedral Jolo juga dituduhkan kepada mereka.
Kelompok Abu Sayyaf, menurut Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Bhayangkara Suhardi, dimotori Ajang-Ajang. Ajang adalah istilah bagi anak-anak muda yatim dari eks kombatan Moro yang tewas dalam pertempuran. Namun, dalam perkembangannya, selain berdalih berjuang untuk kemerdekaan, kelompok ini dikenal brutal dalam bisnis penculikan hingga senjata gelap. Isu itu salah satunya ditulis konsultan keamanan Amerika Serikat, Lino Miani, dalam buku The Sulu Arms Market: National Responses to a Regional Problem. Buku itu menceritakan perkembangan pesat bisnis penculikan oleh Abu Sayyaf sejak tahun 2000-an hingga kini.
”Mereka para Ajang di usia 20-an dan awal 30-an itu kini menjadi, pasukan utama kelompok Abu Sayyaf,” kata Suhardi yang pernah jadi dosen Bahasa Indonesia di kota Marawi di kampus University of Mindanao. Tren terakhir ialah penculikan WNI yang bekerja sebagai awak kapal, termasuk ABK kapal nelayan Malaysia di Sabah.
Endapan persoalan
Sejarawan maritim Universitas Indonesia, (alm) Adrian Lapian, dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, mencatat, tahun 1400-1600, kawasan Laut Sulawesi yang mencakup Mindanao-Kepulauan Sulu, Sabah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara adalah satu kawasan yang aktif terhubung secara tradisional, termasuk dengan China. Dunia seputar Laut Sulawesi itu memiliki hubungan dagang, sosial, budaya, termasuk persoalan keamanan, yakni perompakan. Menurut Adrian, ekspedisi bajak laut dari Filipina selatan pada 1700-an yang beraliansi dengan bajak laut dari Maluku Utara juga berekspansi hingga ke Selat Karimata dan pesisir utara Jawa serta pesisir utara Flores.
Tradisi kekerasan itu lalu bertambah pelik pasca-Perang Dunia II, klaim Filipina atas wilayah timur Sabah yang dianggap bekas wilayah Kesultanan Sulu era Presiden Diosdado Macapagal dan Indonesia terhadap Kalimantan Utara di zaman Presiden Soekarno membuat kawasan itu menjadi area perang proksi. Perang proksi yang terjadi ialah Konfrontasi Ganyang Malaysia yang melibatkan warga pesisir Sabah, Kalimantan Timur, dan warga Kepulauan Sulu yang saling terkait kekerabatan.
Di pihak Filipina dan Malaysia, keberadaan warga di Kepulauan Sulu dan Pesisir Timur Sabah dijadikan obyek dan pelaku proksi politik dan konflik atas klaim Manila terhadap Sabah dan upaya Kuala Lumpur menggoyang Filipina di wilayah selatan yang didominasi masyarakat Muslim.
Puncak kekisruhan ialah pembunuhan serdadu Moro yang dilatih tentara Filipina dalam peristiwa Pembantaian Jabidah di Corregidor, 1968. Itu merupakan salah satu pencetus perlawanan Moro pada 1971 dengan dukungan Malaysia dan Libya yang kemudian berkembang menjadi dua faksi besar, yakni MILF dengan basis di Mindanao dan MNLF di Pulau Sulu. Tahun 1990-an dan 2000-an, kelompok ini berinteraksi dengan militan asal Indonesia seperti diceritakan mantan napi teroris Nasir Abbas soal kamp pelatihan Hudaibiyah di dekat Cotabato.
Ketika upaya damai belum mencapai akhir, pada 2013, ratusan anggota kelompok pengikut keturunan Sultan Sulu, Jamal Kiram, menyusup ke Lahad Datu, Sabah. Serangan itu disambut operasi militer besar-besaran Malaysia dengan sandi Operasi Daulat.
Di sisi lain, kelompok Abu Sayyaf dan kejahatan terorganisasi di Filipina selatan tidak hanya ”bermain” di perbatasan Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Dalam catatan Lino Miani, kejahatan terorganisasi yang terutama melibatkan perdagangan narkoba dan senjata gelap ini juga memiliki jaringan hingga Jepang, China, Hong Kong, bahkan Kartel Meksiko dan Amerika Serikat.
Ketika penulis mengikuti proses negosiasi sandera di Filipina selatan, beberapa kali terjadi interaksi dengan beberapa tokoh Tionghoa Muslim asal Kepulauan Sulu. Mereka mengaku memiliki hubungan kerabat di Hong Kong dan Provinsi Guangdong. Dari garis ibu, jaringan kekerabatan mereka adalah suku-suku Muslim di Kepulauan Sulu dan Mindanao.
Pencegahan
Kompleksitas masalah di Filipina selatan ini memerlukan pendekatan menyeluruh. Seorang perwira tinggi intelijen Indonesia berpendapat pentingya pembukaan akses ekonomi di wilayah perbatasan Indonesia di Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara ke wilayah Mindanao dan Kepulauan Sulu, selain kerja sama keamanan dan pertahanan.
Langkah lain adalah penanganan pascakonflik yang dikerjakan bersama. Dalam hal ini, inisiatif Indonesia di ASEAN dan Indo-Pasifik menjadi sangat penting. Peristiwa pengeboman Katedral Jolo menjadi momentum pengingat kita bersama. (Iwan Santosa)