Eksploitasi Isu Identitas Agama dalam Pemilu Retakkan Persaudaraan
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Eksploitasi isu identitas agama dalam pemilihan presiden dan anggota legislatif sudah memunculkan gejala retaknya persaudaraan antaranak bangsa. Gejala ini belum pernah dirasakan dalam pemilu sebelumnya meskipun suhu politik kerap memanas. Seluruh lapisan masyarakat diajak untuk menciptakan pemilu damai.
Hal itu menjadi benang merah sarasehan kebangsaan bertema ”Merawat Kebhinekaan Mengokohkan Kebangsaan” yang diselenggarakan Gerakan Suluh Kebangsaan, di Medan, Sumatera Utara, Sabtu (9/2/2019).
Hadir Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan Mohammad Mahfud MD, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Wakil Rektor Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah Sri Sulistyawati, Ketua Pengurus Wilayah Al Jam’iyatul Wasliyah Sumut Saiful Akhyar Lubis, dan para tokoh agama di Sumut.
”Bahkan, saya dengar, di Sumatera Utara pun sudah ada di daerah-darah tertentu, kecil sekali, di mana orang sudah tidak saling menegur karena perbedaan pilihan. Lalu, dikucilkan dari pergaulannya di kampung,” ujar Mahfud.
Pilihan politik sering sekali dikaitkan dengan identitas agama.
Ia mengatakan, di media sosial, ketegangan antar-pendukung calon presiden jauh lebih masif dan sangat bertendensi memecah belah bangsa. Pilihan politik sering kali dikaitkan dengan identitas agama. Pertengkaran di media sosial pun menjadi pemicu perpecahan persaudaraan di dunia nyata. Fenomena ini, menurut Mahfud, belum pernah terjadi dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Eksploitasi isu identitas dalam pemilu bermula dari Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Perpecahan itu merembet sampai ke sejumlah daerah. Pada pemilu sebelumnya, isu identitas agama tidak pernah semasif sekarang.
”Pada tahun 2014, pemilihan presiden itu panas antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi. Ketika itu bersaingnya panas, tetapi isunya berbeda. Persaingan Jokowi dan Prabowo itu antara orientasi populisme dan strukturalisme,” tutur Mahfud.
Ia pun mengajak semuanya mengedepankan pemilu damai. Pemilu untuk membangun kesadaran akan kebersamaan sebagai bangsa; membangun kebersamaan dalam keberagaman agama, adat, dan budaya.
”Kita pilih yang bagus menurut pandangan kita masing-masing. Nanti siapa yang terbanyak dinilai bagus, dialah yang kita dukung berjalan menuju negara yang bagus, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur,” ucap Mahfud.
Pendekatan sosial
Abdul Mu’ti mengatakan, persatuan Indonesia bisa dibangun dengan pendekatan sosial kultural. Segregasi sosial kini banyak tercipta oleh kehidupan masyarakat modern. Ada permukiman eksklusif dan sekolah eksklusif yang khusus untuk kelompok sosial tertentu. ”Kalau segregasi ini dibiarkan, persoalan konflik sosial tinggal menunggu waktu saja,” lanjutnya.
Saiful Akhyar Lubis menyebutkan, memelihara persaudaraan bangsa tidak bisa dilakukan hanya oleh orang per orang, tetapi harus menjadi usaha bersama semua lapisan masyarakat. Tokoh politik diminta mengedepankan persaudaraan bangsa ketimbang hanya mengejar kemenangan kontestasi politik elektoral.
Tokoh Sumut, Rustam Effendy Nainggolan, mengatakan, komunikasi di media sosial yang sangat terbuka dan tanpa etika turut mengancam persatuan bangsa. Persaudaraan antarumat yang dulunya akur kini pecah oleh ujaran kebencian yang mendominasi percakapan di media sosial.
Adapun Pastor Beno Ola Tage, Pr dari Keuskupan Agung Medan mengatakan, hukum yang paling tinggi dalam berbangsa dan bernegara adalah kepentingan umum. Jangan sampai kepentingan politik elektoral mengancam kepentingan masyarakat, yakni persaudaraan.