JAKARTA, KOMPAS — Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sri Puguh Budi Utami mengonfirmasi, draf revisi atas remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Insan pers yang mengharap perlindungan hukum atas pelaku kekerasan terhadap jurnalis akhirnya menemukan titik cerah.
Susrama adalah dalang atas pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, pada 2009. Prabangsa dibunuh karena memberitakan dugaan kasus korupsi atas proyek yang dikerjakan Susrama. Di pengadilan, Susrama terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman seumur hidup.
Saat dihubungi, Sabtu (9/2/2019), Utami mengatakan sudah mendengar, Presiden telah menandatangani draf untuk merevisi keputusan presiden (keppres) yang dikirim Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ke Sekretariat Negara. Revisi itu terkait Keppres Nomor 29 Tahun 2018 tentang pemberian remisi berupa perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara.
”Saat ini, Susrama masih di rumah tahanan menjalani masa pidananya. Jika remisi dibatalkan, berarti yang bersangkutan menjalani pidana awal, yaitu seumur hidup,” kata Utami.
Sebelumnya, keppres yang diputuskan pada 7 Desember 2018 lalu itu membuat hukuman bagi Susrama berubah dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara sebagai syarat mendapat remisi. Penghuni Rutan Kelas II B Bangli, Bali, tersebut mendapat remisi sehingga hanya perlu menjalani 20 tahun penjara setelah ditahan 10 tahun.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menyatakan optimistis dengan hasil tersebut. Hari ini, Presiden Joko Widodo yang ditemui jurnalis seusai berpidato dalam acara Hari Pers Nasional di Surabaya menyampaikan bahwa revisi atas remisi itu sudah ia tandatangani. Pernyataan itu direkam dalam video yang kemudian diterima Abdul.
”Kita berharap ini menjadi pemicu untuk (pemerintah) menyelesaikan proses hukum dalam kasus-kasus pembunuhan jurnalis lainnya,” ujar Abdul.
Sebelumnya, AJI dan komunitas wartawan mempersoalkan remisi terhadap Susrama dan menyatakan keberatan atas keppres yang salah satunya mengatur pemberian remisi kepada Susrama. Atas tuntutan tersebut dan gelombang aksi dari insan pers sejak Januari 2019, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menugaskan Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk mengkaji ulang pemberian remisi tersebut.
Pada Jumat kemarin, AJI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendatangi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Mereka menyampaikan surat keberatan dari 36 AJI kota, Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), LBH Pers, dan LBH. Isi surat tersebut meminta Presiden mencabut keppres pemberian remisi terhadap Susrama.
Menurut catatan AJI, kasus pembunuhan terhadap jurnalis atau wartawan merupakan kasus yang jarang terjadi. Sejak 1992, hanya ada sembilan kasus pembunuhan jurnalis. Kasus pembunuhan Prabangsa berhasil diusut hingga ke tingkat pengadilan, sementara delapan kasus pembunuhan lainnya belum tersentuh hukum.
Ini seperti kasus Fuad M Syarifuddin (Udin), wartawan harian Bernas (1996); pembunuhan Herliyanto, wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006); kematian Ardiansyah Matrais, wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV (2010); serta kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan tabloid mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010). (ERIKA KURNIA)