JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan periode 2019-2024 diminta memperhatikan pengembangan energi terbarukan dan tidak hanya fokus pada energi fosil atau batubara. Amanat bauran energi terbarukan sebesar 23 persen dari total energi pada 2025 dalam Kebijakan Energi Nasional harus diwujudkan.
Perkembangan dalam tiga tahun terakhir dinilai belum memuaskan.
Harapan itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan sejumlah asosiasi pengembang energi terbarukan, Jumat (8/2/2019), di Jakarta. Diskusi diselenggarakan untuk memberi masukan dalam debat calon presiden-wakil presiden pada 17 Februari 2019 dengan tema energi, pangan, dan sumber daya alam.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, target energi terbarukan dalam bauran energi nasional adalah 23 persen pada 2025. Sementara sampai dengan akhir 2018, porsi energi terbarukan masih kurang dari 8 persen dalam bauran energi nasional. Artinya, masih ada kekurangan 15 persen dalam waktu tujuh tahun untuk mencapai target 23 persen.
”Siapa pun yang nanti terpilih menjadi presiden dan wakil presiden harus menjalankan amanat dalam Kebijakan Energi Nasional, yaitu 23 persen energi terbarukan pada 2025. Saya tidak tahu apakah akan tercapai atau tidak dalam waktu yang tersisa, tetapi komitmen itu harus ada dan dibuktikan,” ujar Ketua Umum METI Surya Darma.
Surya mengakui, tantangan mencapai target 23 persen seperti yang diamanatkan dalam Kebijakan Energi Nasional berat sehingga perlu dicarikan solusi bersama.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menambahkan, perkembangan kapasitas terpasang energi terbarukan di Indonesia dalam tiga tahun terakhir kurang menggembirakan. Pada 2015-2018, penambahan kapasitas terpasang 800 megawatt. Padahal, pada 2010-2014, kapasitas terpasang energi terbarukan tumbuh 2.600 megawatt. Investasi energi terbarukan di Indonesia pada 2018 hanya 1,6 miliar dollar AS,” katanya.
Nilai itu sangat kecil dibandingkan dengan total investasi energi terbarukan di seluruh dunia yang mencapai 332 miliar dollar AS pada tahun yang sama.
”Padahal, Indonesia merupakan gudang sumber energi terbarukan,” kata Fabby.
Optimistis
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air Riza Husni mengatakan, kendati berat, dirinya optimistis energi terbarukan memiliki masa depan cerah. Hal itu seiring dengan ongkos produksi listrik dari tenaga hidro yang kian murah dibandingkan dengan batubara. Ongkos produksi listrik tenaga hidro sudah lebih rendah daripada tenaga batubara yang mencapai 6 sen dollar AS sampai 7 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh).
”Siapa saja yang terpilih sebagai presiden, pilihan terhadap energi terbarukan adalah sebuah pilihan yang rasional karena lambat laun ongkosnya lebih murah dari batubara. Dan yang tak kalah penting adalah keberlanjutannya lebih terjamin dan ramah lingkungan,” ucap Riza.
Selain itu, sejumlah pihak belum yakin target 23 persen bisa dicapai pada 2025 tanpa pengembangan tenaga nuklir. Nuklir bisa dibangun dalam skala besar atau ribuan megawatt. Namun, dalam Kebijakan Energi Nasional, pembangkit listrik tenaga nuklir hanya menjadi pilihan terakhir.