Kenaikan Harga Tiket dan Bagasi Berbayar Mengganggu Sektor Pariwisata
Oleh
Madina Nusrat
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan kenaikan harga tiket dan bagasi berbayar oleh sejumlah maskapai menuai dilema. Kondisi itu dinilai dapat mengganggu perekonomian di sektor pariwisata yang tengah digenjot pemerintah. Sebaliknya, bagi maskapai, pengenaan biaya bagasi itu memberikan pilihan bagi penumpang dalam membiayai perjalanan.
Bhima Yudistira, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dalam diskusi ”Mengapa Bagasi Berbayar” di Jakarta, Sabtu (9/2/2019), menyampaikan, keputusan sejumlah maskapai menaikkan harga tiket dan menerapkan biaya bagasi kepada penumpang memberikan implikasi terhadap keberlangsungan perekonomian Indonesia. Hal itu terutama pada sektor pariwisata.
”Kaum milenial dengan jumlah sekitar 90 juta sebagian besar hobinya adalah jalan-jalan. Jangan kemudian potensi itu dibunuh dengan kebijakan harga tiket yang mahal dan bagasi berbayar,” ucap Bhima.
Menurut dia, kenaikan harga tiket dan pengenaan biaya bagasi tak hanya berdampak pada perjalanan wisata. Namun, meningkatnya biaya perjalanan pesawat juga berimbas pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menyediakan oleh-oleh bagi wisatawan.
Hingga akhir Januari 2019, setelah penerapan bagasi berbayar, sejumlah usaha oleh-oleh di Padang, Sumatera Barat, mengalami penurunan omzet sebesar 35-50 persen. Konsumen membatasi pembelian oleh-oleh agar tidak terkena tarif bagasi (Kompas.id, 30/1/2019).
Karena dampaknya cukup luas, Bhima pun mengatakan, pemerintah agar turun tangan mengatasi kenaikan biaya perjalanan dengan pesawat ini.
”Pemerintah harus tegas melarang sementara terkait bagasi berbayar kepada semua maskapai. Larangan itu jangan hanya diterapkan pada maskapai pelat merah,” ujarnya.
Menurut Bhima, jika dibutuhkan, tarif pesawat dapat dievaluasi kembali setelah harga minyak dunia rendah. ”Untuk jangka panjangnya adalah membangun infrastruktur penyaluran avtur agar efisien,” lanjutnya.
Dalam Pasal 22 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 185 Tahun 2015, diatur bahwa ada tiga kategori maskapai dengan pelayanan bagasinya. Untuk kelompok full service, bagasi bebas biaya tidak lebih dari 20 kilogram (kg). Pada maskapai dengan kategori medium service, batas bagasi gratis sebesar 15 kg. Sementara pada kategori no frill, dapat dikenai biaya untuk bagasi, seperti Lion Air, Wings, Citilink, AirAsia, dan Susi Air.
Corporate Communications Strategic of Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro memiliki pandangan berbeda. Menurut dia, pada penerapan bagasi berbayar, penumpang diberikan keleluasaan dalam membiayai perjalanannya. Penumpang yang membawa bagasi dapat membayar bagasi dan begitu pula sebaliknya.
”Penumpang yang merasa tak memerlukan bagasi tidak perlu membayar bagasi. Penumpang dapat melakukan travelling lebih ekonomis dengan pilihan kapasitas bagasi menurut tingkat keperluan perjalanan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Danang menjelaskan, sejak layanan bagasi berbayar diterapkan, ketepatan waktu operasional atau on time performance (OTP) pun menjadi meningkat. Jika sebelumnya OTP rata-rata 65 persen, sejak penerapan bagasi berbayar, OTP pun naik menjadi 88 persen.
Danang menyebutkan, bagasi berbayar tersebut telah diterapkan di maskapai Lion Air sejak 7 Februari 2019 untuk rute domestik. ”Kami memberlakukan kebijakan baru tersebut sebagai langkah mempertahankan tingkat OTP,” ujarnya.
Saat bisnis penerbangan diterpa situasi yang tak pasti, perubahan strategi bisa dimaklumi. Maskapai penerbangan terus dihadapkan pada tantangan yang besar. Apalagi maskapai penerbangan domestik (Kompas, 15/1/2019).
Maskapai penerbangan domestik mendapatkan penghasilan dalam rupiah, tetapi kewajibannya dalam bentuk dollar AS, seperti membayar sewa pesawat, avtur, dan suku cadang. Apalagi saat nilai tukar dollar AS terus menguat. Sementara maskapai penerbangan tidak bisa sembarangan menaikkan harga karena harga tiket ditentukan oleh pemerintah dengan penerapan tarif batas atas dan tarif batas bawah.
Sebagai gambaran, menurut data Litbang Kompas, harga avtur di Bandara Soekarno-Hatta per 9 Februari 2019, dari laman Pertamina Aviation, Rp 8.210 per liter. Harga avtur ini naik 8,3 persen dibandingkan dengan harga avtur pada Januari tahun lalu seharga Rp 7.580 per liter di bandara yang sama.
Harga avtur per liter itu sudah termasuk pengiriman ke pesawat, tetapi belum termasuk pajak, yakni PPN 10 persen dan PPH 0,3 persen, untuk penerbangan domestik. Biaya bahan bakar pesawat itu saja berdampak hingga separuh dari total biaya yang dikeluarkan maskapai untuk aktivitas operasional.
Di sisi lain, penerapan bagasi berbayar menurut waktu atau jarak tempuh kemungkinan besar merugikan penumpang. Ada kemungkinan biaya bagasi tercatat yang harus ditanggung penumpang melebihi harga tiket yang mereka beli.
Pengamat penerbangan Alvin Lie berpendapat, Direktur Jenderal Perhubungan Udara perlu meninjau kembali pembagian tiga kategori maskapai dan tarif batas bawah tiket penerbangan.
”Apakah masih relevan dijadikan instrumen untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan,” ucap Alvin pada kesempatan berbeda, Sabtu.
Menurut dia, yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan keselamatan angkutan udara adalah pengawasan terhadap kedisiplinan dan kepatuhan maskapai dalam melaksanakan perawatan sesuai jadwal.
Selain itu, juga kedisiplinan maskapai dalam menerapkan batas waktu kerja dan waktu istirahat awak pesawat serta peraturan-peraturan lain terkait keselamatan.
”Tidak ada korelasi yang dapat dipertanggungjawabkan antara harga tiket dan keselamatan. Perbedaannya hanya pada fasilitas kenyamanan dan pelayanan saja,” ujar Alvin.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, menaikkan harga tiket dan bagasi berbayar sudah diperhitungkan sebagai fixed cost (biaya tetap) dan masuk dalam perhitungan biaya angkut per penumpang per jarak per durasi operasi pesawat.
”Ramp check tidak dikenai biaya. Sepenuhnya ditanggung APBN. Ini salah satu fungsi pengawasan oleh Ditjen Perhubungan Udara,” katanya. (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)