Lukisan Neo-ekspresionis ala Mola di Bentara Budaya Yogyakarta
Lukisan bukan sekadar goresan kuas berwarna-warni di atas kanvas. Lukisan itu salah satu media untuk menyampaikan keresahan dan kegelisahan. Tidak jarang seorang pelukis justru bertutur lebih jujur melalui karyanya. Seolah berbicara sendiri, segala perasaan diluapkan dalam setiap goresan warna.
Hal itu yang menjadi pendekatan bagi Mola, pelukis asal Bandung, dalam pameran tunggal pertamanya bertajuk Edited Clown di Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Jumat (8/2/2019). Ada 19 lukisan yang dibuat dengan media kanvas dan akrilik serta 10 lukisan yang dibuat dengan media kertas dan cat air.
”Saya itu sulit curhat (mengungkapkan curahan hati) ke orang. Jadi, saya lebih curhat ke lukisan. Itu saja, sih. Perasaan saya itu coba saya ungkapkan lewat lukisan,” ujar Mola seusai pembukaan pameran, Jumat malam.
Pada lukisan berjudul ”My Hero” ada gambar badut laki-laki dewasa sedang merangkul badut kecil perempuan. Kedua badut itu memejamkan mata sambil tersenyum. Warna biru yang menjadi latar lukisan seolah menyejukkan warna-warna menyala yang dibubuhkan pada tubuh kedua badut itu. Ada pula corat-coret bertuliskan ungkapan kerinduan yang memenuhi sisi kosong dari kanvas lukisan itu.
Ternyata lukisan itu dibuat karena kerinduan Mola terhadap sosok ayah angkatnya. Ia ingin menceritakan bagaimana sosok ayah angkatnya itu membentuknya menjadi pribadi seperti saat ini. Tidak melalui metode yang kasar, melainkan berbagai perbincangan yang membuat Mola berpikir tentang benar dan salah.
”Lukisan itu tentang ayah angkat saya yang selalu mendukung saya. Karena, selalu kenakalan-kenakalan saya itu bagi dia seolah bagai hiburan. Dia tidak mendidik saya dengan keras, tetapi mengajak saya berdiskusi. Saya banyak belajar tanpa paksaan dari beliau. Semua itu dilalui saja,” tuturnya.
Nuansa serupa tampak pada lukisan lain. Campur aduk perasaan hati Mola diekspresikan lewat tiap cipratan, goresan, atau usapan cat dari kuas ataupun kertas yang menjadi media lukisnya. Dengan warna dan bentuk, Mola mengajak semua pengunjung ruang pamer bicara tentang isi hatinya.
Ruang pameran untuk sementara waktu dibuat menjadi galeri memorabilia pengalaman hidup Mola. Sebagian besar lukisan menampilkan sosok badut perempuan. Ada yang sedang menggendong bayi, ada pula yang mendekap badut laki-laki. Apakah itu citra diri Mola?
”Mungkin (badut perempuan) itu saya. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan, yang saya gambar itu orang lain. Memang sebagian besar ini badut perempuan karena tanpa sadar saya sedang bercerita tentang diri saya sendiri,” ungkapnya.
Pemilihan tema badut berkaitan hal tersebut. Menurut dia, manusia adalah badut tanpa topeng. Ia melihat manusia dan badut tidak jauh berbeda. Hanya rupa yang membedakan keduanya. Selebihnya, mereka sama-sama makhluk yang menyembunyikan sesuatu di balik wajahnya.
”Ya, manusia itu badut. Mereka sama-sama pakai topeng. Punya badut topengnya kelihatan, punya manusia tidak kelihatan,” ujar Mola.
Wajah badut digambar sedemikian rupa agar tampak selalu bahagia. Ia dituntut untuk bisa menyenangkan penonton, bagaimanapun caranya. Namun, penonton tidak pernah tahu apa sebenarnya yang dirasakan oleh badut itu di balik riasan tebal dan segala tingkah lucunya.
Manusia tidak jauh berbeda. Mungkin seseorang bisa tersenyum dan tampak bahagia di hadapan orang lain. Namun, apakah orang itu benar-benar bahagia atau sekadar pura-pura? Bisa jadi orang itu juga sedang menyembunyikan sesuatu.
Asmujo Jono Irianto, kurator pameran Mola, menyatakan, Mola punya karakter yang kuat dalam melukis. Rasa dan emosi cukup menonjol dalam karya yang ia buat. Ia pun digolongkan sebagai pelukis yang menganut gaya neo-ekspresionisme.
”Gestur, emosi, torehan kuas, dan penekanan warna adalah aspek penting dalam neo-ekspresionisme, sebagaimana ditemukan pada karya lukis Mola,” kata Asmujo.
Mola agaknya cocok dengan metode ekspresionisme karena ia merupakan pelukis otodidak. Wacana atau teori seni tidak terlalu ia pedulikan. Sebab, Mola menggunakan seni sebagai alatnya membebaskan diri. Melalui praktik seni, ia menemukan cara untuk menyeimbangkan emosi dalam dirinya.
Raihul Fadjri Faniska, penulis buku pameran Mola, membenarkan hal itu. Mola terbantu dalam mengelola emosi saat sedang melukis. Mola pernah menderita kanker serviks dan divonis menopause dini. Hal itu membuat emosinya tidak stabil.
Namun, melukis membantu Mola mencurahkan perasaan. Dengan setiap goresan kuas, Mola meluapkan perasaan negatif, lalu mengubahnya menjadi energi positif dalam sebuah lukisan.
”Ini bentuk ekspresi Mola ketika berhubungan dengan orang lain. Dia berusaha menahan diri kala berhubungan dengan orang lain dan berdamai dengan ekspresi yang terdapat dari diri orang lain,” kata Raihul.
Pada 2015, Mola kembali mengalami masalah pada tubuhnya. Tulang belakangnya agak bergeser sehingga ada titik saraf yang terjepit. Rasa sakit luar biasa dari penyakit itu ternyata bisa kembali diredam melalui kegiatan melukis.
Mola mengungkapkan, rasa sakit di tulang belakangnya itu tidak terasa lagi saat sedang melukis. Padahal, ia baru bisa melukis pada pukul 23.00. Jika menggunakan cat akrilik, ia menghabiskan waktu hingga lima jam untuk melukis. Seolah rasa sakit itu tidak terpikirkan karena pikirannya terpusat pada lukisan.
Manusia tidak jauh berbeda. Mungkin seseorang bisa tersenyum dan tampak bahagia di hadapan orang lain. Namun, apakah orang itu benar-benar bahagia atau sekadar pura-pura?
”Mungkin saya berusaha untuk tidak melawan rasa sakit, tetapi berdamai (dengan rasa sakit itu), bagaimanapun caranya. Saya berusaha tidak mengeluh dan marah,” katanya.
Bagi Mola, kanvas dan kertas bagaikan pendengar yang baik. Keduanya merupakan tempat menyampaikan keluh kesah tentang kehidupan. Perasaan sedih, senang, marah, dan rindu diungkapkan dengan warna yang kemudian terekam menjadi sesuatu yang indah berupa lukisan.