Dunia penerbangan Indonesia sedang bergejolak. Moda transportasi itu seperti sedang diuji ketahanannya, apakah bisa bertahan atau rontok satu per satu.
Diawali dengan tragedi pesawat Lion Air JT610 yang jatuh pada 29 Oktober 2018, berita-berita soal penerbangan seolah tiada berakhir. Bagi maskapai, musibah kecelakaan pesawat juga berarti kehilangan alat kerja dalam kurun waktu tertentu, sampai dengan pesawat pengganti datang.
Konsekuensinya, pemasukan berkurang. Padahal, pengeluaran tetap ditanggung, termasuk citra perusahaan yang disorot publik.
Pada awal tahun ini ada gejolak yang ditimbulkan dari harga tiket pesawat yang melonjak. Semula penumpang mengira hal itu akibat permintaan akan kursi penerbangan yang tinggi pada libur Natal dan Tahun Baru. Namun, harga tiket yang tinggi itu berlanjut.
Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) sepakat menurunkan harga tiket setelah keluhan masyarakat bermunculan. Namun, maskapai tidak bisa menurunkan harga tiket lebih rendah karena biaya operasional yang ditanggung maskapai sangat besar. Harga tiket yang ditentukan pemerintah tidak naik sejak 2016. Padahal, harga avtur yang naik, biaya tenaga kerja yang meningkat, dan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS membuat biaya operasional kian berat.
Maskapai berbiaya murah berupaya meningkatkan pendapatan dengan menghentikan layanan bagasi gratis. Akibatnya, penumpang merasa uang yang mesti dikeluarkan untuk bepergian menggunakan pesawat sangat besar. Harga tiket naik, ditambah membayar biaya bagasi.
Dampaknya, masyarakat mengurangi penggunaan moda transportasi pesawat terbang dan beralih ke moda transportasi lain, apalagi jika tujuannya masih di pulau yang sama.
Kondisi ini membuat sektor penerbangan seperti makan buah simalakama. Jika harga tiket dinaikkan ke ambang batas atas, penumpang pesawat jauh berkurang. Namun, jika harga tiket diturunkan ke batas bawah, maskapai mesti menyiapkan diri untuk mendapat pemasukan sangat kecil.
Kondisi ini berdampak pada pendapatan operator bandara yang berkurang. Pemilik kios atau toko di bandara juga gigit jari karena pemasukan berkurang akibat jumlah penumpang yang turun.
Untuk bisa keluar dari kondisi ini mesti ada langkah yang cukup signifikan, baik dari maskapai, penumpang, maupun pemerintah. Maskapai mesti efisien. Sediakan kebutuhan yang benar-benar diperlukan penumpang. Penumpang butuh terbang dengan selamat dan tiba di tujuan tepat waktu.
Jika ada makanan, makanan mesti enak, menarik, serta bervariasi. Penumpang tidak perlu hiburan musik yang ditampilkan penyanyi secara langsung karena sebagian penumpang—yang ingin beristirahat dalam penerbangan—justru terganggu.
Maskapai juga mesti meninggalkan budaya kompetisi berlebihan, yakni menawarkan harga paling murah. Sebab, langkah itu justru akan mematikan perusahaan. Kompetisi bisa dilakukan pada layanan yang tepat waktu, andal, dan selamat. Jangan sampai terjadi insiden yang sebenarnya bisa dicegah.
Rencana ekspansi besar-besaran mesti dipikirkan matang-matang, terutama bagi maskapai yang arus kasnya belum sehat.
Adapun pemerintah sebaiknya tegas dan memegang teguh keputusannya sendiri. Jika aturan membolehkan maskapai berbiaya murah menerapkan bagasi berbayar, sebaiknya dibiarkan saja. Toh, mekanisme pasar yang akan menentukan, siapa pemenang kompetisi di sektor penerbangan. Pemerintah bisa meminta maskapai untuk membuka perhitungan tarif bagasi. Dengan demikian, penumpang bisa menilai, apakah tarif itu wajar atau tidak. Selanjutnya, penumpang akan mempertimbangkan perlu membeli bagasi atau tidak, lalu mempertimbangkan apakah dia akan membeli bagasi atau tidak.
Jangan sampai maskapai domestik mati di tengah lahan sektor penerbangan yang sedang panen. Sekadar catatan, Asia Pasifik merupakan salah satu wilayah dengan pertumbuhan penerbangan sangat tinggi. Menurut perkiraan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), ada tambahan 2,35 miliar penumpang pada 2037 di kawasan Asia Pasifik.