Perlindungan terhadap hak pejalan kaki di trotoar di DKI Jakarta dinilai masih sangat lemah. Selain okupasi pedagang kaki lima dan parkir, perebutan ruang juga terjadi dengan berbagai kepentingan lainnya.
Di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, tak hanya pedagang kaki lima yang banyak mengambil ruang di trotoar, tetapi juga aktivitas bongkar muat barang yang memakan hampir seluruh badan trotoar. Akibat berbagai kepentingan itu, pejalan kaki justru harus mengalah dan turun dari trotoar di badan jalan. Hal ini tentu membahayakan pejalan kaki karena banyaknya kendaraan yang lalu lalang.
Peneliti transportasi dari Institut Studi Transportasi, Deddy Herlambang, mengatakan, praktik bongkar muat barang oleh perusahaan logistik di trotoar sudah berlangsung selama bertahun-tahun di Tanah Abang, tetapi tetap dibiarkan tanpa pernah ada ketegasan aturan.
Padahal, sebenarnya pemerintah daerah sangat mudah membuat regulasi untuk mengatur bongkar muat di bahu jalan atau di lokasi lain.
”Jadi, trotoar yang baru beberapa tahun dibangun dan dilebarkan itu bukan untuk pejalan kaki sehingga sistem transportasi di sekitar sana liar tak tertata,” katanya di Jakarta, Jumat (8/2/2019).
Menurut Deddy, Tanah Abang merupakan kawasan penghubung usaha yang besar, tetapi justru sangat minim penataan. Padahal, masyarakat membayar pajak untuk terwujudnya kota yang tertata, termasuk trotoar yang digunakan sesuai fungsinya.
Sebelumnya, Deddy juga mengkritik kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menutup akses pejalan kaki di satu sisi trotoar Jalan Jati Baru Raya, tepatnya di bawah jembatan penyeberangan multiguna.
Ia mengatakan, kebijakan ini juga merenggut hak pejalan kaki terhadap trotoar. Penyediaan jembatan penyeberangan multiguna tak bisa menggantikan fungsi trotoar yang merupakan satu kesatuan dengan jalan raya.
Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi mengatakan, kebijakan itu diberlakukan justru untuk melindungi keselamatan pejalan kaki, selain juga menata moda transportasi umum massal, yaitu Transjakarta dan angkutan kota Jak Lingko yang terintegrasi dengan kereta komuter.
”Sekali turun kereta ada 300-400 orang keluar dari stasiun. Ini, kan, membahayakan. Jak Lingko dan Transjakarta juga tak bisa manuver,” katanya.
Sejak 7 Februari, pejalan kaki di satu sisi Jalan Jati Baru Raya itu diarahkan untuk berjalan melalui jembatan penyeberangan. Pejalan kaki juga tak bisa melintasi satu sisi Jalan Jati Baru Raya tersebut.
Kebijakan ini membuat akses pejalan kaki mengecil. Jembatan penghubung untuk memasuki jembatan penyeberangan hanya selebar 1,5 meter, jauh lebih sempit daripada trotoar yang sebelumnya memiliki lebar sekitar 5 meter.
Dengan kondisi ini, kebijakan pemerintah menutup akses pejalan kaki di sebagian trotoar tersebut diharapkan juga diimbangi dengan peningkatan perlindungan hak pejalan kaki terhadap trotoar di tempat lain.
Nirwono Joga, pengamat tata kota, Jumat (8/2/2019), menyatakan, upaya Pemprov DKI membudayakan berjalan kaki di area yang sudah disiapkan itu baik. Namun, apabila trotoar lalu dipagari, itu sama saja dengan merampas hak pejalan kaki. Justru yang dibutuhkan dalam penataan Tanah Abang adalah ketegasan Gubernur DKI untuk mensterilkan trotoar dari PKL sehingga pejalan kaki nyaman.
”Penutupan trotoar untuk pejalan kaki itu justru tidak perlu sama sekali. Itu sama saja dengan merampas hak pejalan kaki karena trotoar dibangun dengan dana APBD untuk memfasilitasi agar masyarakat berjalan kaki dengan aman dan nyaman di trotoar,” ucap Nirwono.
Pemagaran atau penutupan trotoar, lanjutnya, menunjukkan bahwa Gubernur tidak memahami hak pejalan kaki. Itu juga menunjukkan Gubernur dan Pemprov DKI belum memiliki rencana matang dalam menata kawasan Tanah Abang, termasuk di dalamnya konsep kawasan berorientasi transit.
Penataan Tanah Abang, termasuk membudayakan berjalan kaki dan mendisiplinkan para pejalan kaki, yaitu membuat pejalan kaki berjalan di tempat yang sudah disiapkan, baik trotoar, jembatan penyeberangan orang, maupun jembatan penyeberangan multiguna, bisa saja. Namun, langkah itu mesti diikuti dengan sterilisasi trotoar dari PKL.
Hal itu membuat pejalan kaki dapat berjalan dengan aman dan nyaman di trotoar yang sudah dibangun. Pemprov, kata Nirwono, perlu mempelajari sirkulasi pejalan kaki dan arus pejalan kaki saat jam sibuk. Intinya, utamakan pejalan kaki dan optimalkan trotoar yang sudah direvitalisasi untuk berjalan kaki.
Di saat penerapan Perda Ketertiban Umum dan aksi Satpol PP di Tanah Abang tidak maksimal, yang diperlukan adalah sikap tegas Gubernur DKI.
Secara terpisah, Agung Wicaksono, Direktur Utama PT Transportasi Jakarta, menyatakan, pemagaran trotoar dalam rangka penataan kawasan Tanah Abang adalah agar pejalan kaki tidak menyeberang di jalan. Untuk menyeberang bisa melewati jembatan penyeberangan yang sudah dibangun di atasnya.
Menurut Agung, gaya hidup aktif menjadi ciri kawasan berorientasi transit di negara-negara dengan transportasi publik maju. Bagi kendaraan Transjakarta atau Jak Lingko, yang mutlak perlu adalah jalanan yang steril sehingga mencegah kecelakaan. Halte yang nyaman memudahkan pelanggan berpindah dari stasiun KRL ke Transjakarta.