Pekerja Industri Media dan Kreatif Cenderung Stres karena Kurang Istirahat
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja di bidang industri media dan kreatif cenderung mengalami stres karena kurangnya waktu istirahat secara teratur. Stres yang berlebihan akan menimbulkan berbagai gangguan, termasuk menyebabkan kecelakaan kerja.
Berdasarkan survei yang dilakukan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) yang mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018, setidaknya 40 persen responsen alami stres berat karena berkaitan dengan jumlah pekerjaan.
Selanjutnya, stres dialami pekerja akibat beban kerja yang berkaitan dengan kompleksitas pekerjaan (kualitatif) sebesar 33 persen, dan pengembangan karir sebesar 32 persen.
Divisi Riset dan Edukasi Sindikasi Fathimah Fildzah Izzati mengatakan, mayoritas responden mengaku stres pada kategori beban kerja kuantitatif karena kurangnya waktu istirahat secara teratur. “Sebagian besar mereka bekerja di bidang e-dagang, arsitektur, dan strategi (termasuk social media strategy),” kata Fildzah dalam acara Work Life Balance Festival 2019 di Jakarta, Sabtu (9/2/2019).
Ia mengatakan, mereka yang bekerja di dua kategori pekerjaan juga mengalami stres yang sama. Pertama, pekerja harian dengan perjanjian kerja yang jelas. Kedua, mereka yang bekerja dengan status kerja tetap dan mengambil pekerjaan lepas sekaligus. Menurut Fildzah, mayoritas perempuan pekerja mengalami stres pada kategori ini.
Salah satu sumber bahaya disebabkan faktor psikologis seperti ketidakjelasan peran sehingga terjadi konflik dan tumpang tindih, beban kerja yang berlebihan
Adapun pada kategori beban kerja kualitatif, pekerja mengaku stres karena tugas pada pekerjaan tampak semakin kompleks dan tuntutan pekerjaan pada mutu yang terlihat berlebihan. Pada kategori ini, diisi oleh mereka yang bekerja pada bidang kreatif e-dagang, ilmu informasi dan teknologi, desain interior, arsitektur, serta desain komunikasi visual (DKV).
Kondisi ini dialamai oleh, pertama, mereka yang bekerja dengan status kerja tetap dan pekerja lepas sekaligus. Kedua, pekerja tidak tetap atau kontrak dengan perjanjian kerja yang jelas. Ketiga, pekerja harian dengan perjanjian kerja yang kelas. Keempat, pekerja lepas dengan perjanjian kerja yang tidak jelas. Stres pada kategori ini, sebagian besar dialami oleh pekerja laki-laki.
Pada kategori pengembangan karir, sebagian besar responden mengaku stres karena karir pekerja yang tidak berkembang. Mayoritas responden perempuan mengalami stres pada kategori ini. Sebagian besar mereka bekerja di bidang kreatif e-dagang, Hak Asasi Manusia dan advokasi, ilmu informasi dan teknologi, serta desain komunikasi visual (DKV). Mayoritas mereka dengan status kerja tetap dan lepas sekaligus.
Tanda orang yang sudah mengalami stres yang mampu menimbulkan masalah, yaitu cemas yang berlebihan, depresi, gangguan tidur, sedih secara berlarut-larut, putus asa, dan selalu curiga
Kepala Seksi Pengawasan Norma Ergonomi dan Lingkungan kerja Kementerian Ketenagakerjaan Muhammad Fertiaz mengatakan, pada Permenaker 5/2018, pemerintah mulai memasukkan faktor psikologi sebagai upaya pencegahan terhadap kecelakaan kerja.
Ia mengatakan, penyebab utama kecelakaan kerja diakibatkan oleh perilaku tidak aman. Perilaku tersebut dilakukan oleh manajemen dan pekerja. Adapun kondisi tidak aman, seperti bekerja di ketinggian juga menjadi salah satu penyebab kecelakaan kerja.
Salah satu sumber bahaya disebabkan faktor psikologis seperti ketidakjelasan peran sehingga terjadi konflik dan tumpang tindih, beban kerja yang berlebihan, serta pekerjaan yang sulit. Ia menyarakankan agar perusahaan juga melakukan konseling terhadap pekerjanya dan memperjelas pembagian tugas pekerjaan.
Menurut Fertiaz, sebagian besar kecelakaan kerja dapat dicegah. Salah satunya, dengan mengadakan pelatihan sesuai prosedur. Oleh karena itu, pemerintah mendorong pengusaha sebagai pemberi kerja untuk memberikan pelatihan.
Kesehatan mental
Praktisi Kesehatan Mental Jiemi Ardian mengatakan, kesehatan mental bukan terkait dengan kebahagiaan seseorang, melainkan kemampuan seseorang untuk bertumbuh. Oleh karena itu, orang yang stres berlebihan akan menimbulkan banyak masalah karena ia tidak mampu berkembang.
Ia mengatakan, batasan stres dari seseorang sulit dihitung sehingga pencegahannya pun tidak mudah. Meskipun demikian, pengelolaan stres yang tepat mampu membuat mental menjadi bertumbuh.
Terkait dengan kurangnya waktu istirahat yang membuat seseorang menjadi stres, Jiemi mengatakan, manusia tidak dapat dilepaskan dari faktor biologis, psikologi, dan sosial. “Jam tidur manusia tidak dapat diubah,” tuturnya.
Akan tetapi, masing-masing orang memiliki kebutuhan istirahat yang berbeda. Ada yang cukup istirahat selama 4 sampai 8 jam sehari, tetapi ada juga yang butuh istirahat 9 sampai 10 jam sehari. "Namun, ada juga yang cukup istirahat selama 4 jam. Jika melebihi waktu itu, maka orang tersebut merasa terganggu," terangnya.
Jiemi menuturkan, kapasitas stres ada batasnya. Stres tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi terjadi karena sudah tertimbun selama beberapa waktu. Beberapa tanda orang yang sudah mengalami stres yang mampu menimbulkan masalah, yaitu cemas yang berlebihan, depresi, gangguan tidur, sedih secara berlarut-larut, putus asa, dan selalu curiga.
Ia menyarankan, orang yang sudah pada situasi tersebut harus berhenti sejenak. “Ia harus istirahat. Bila perlu berobat ke psikiater atau konsultasi ke psikolog,” kata Jiemi.
Head of Corporate Communication CoHive Kartika Octaviana mengatakan, untuk mengurangi stres, maka sebuah tempat kerja perlu ada ruang untuk istirahat. Kalau perlu ada ruang tidur untuk mengembalikan energi yang terkuras.
Selain itu, diperlukan fasilitas bermain dan olahraga yang dapat membangkitkan semangat pekerja. Untuk memenuhi kebutuhan psikologis dari pekerja, maka dibutuhkan juga fasilitas untuk bertukar pikiran atau sekadar bercerita. “Dengan membangun relasi, maka pekerja dapat saling berbagi solusi,” kata Kartika.