Siasat Budaya Suku Dayak Menjaga Rotan
Rotan merupakan komoditas unggulan Kalimantan Tengah yang saat ini sedang terpuruk. Namun, jauh sebelum rotan menjadi bahan dasar mebel yang komersial, masyarakat suku Dayak sudah memuliakan rotan dalam kehidupannya.
Laurensia Rusan (50) menarik batang rotan di atas anjat atau pisau, membelah batang rotan menjadi beberapa bagian. Ia membuat lanjung atau tas keranjang khas suku Dayak, Jumat (1/2/2019).
Lanjung biasa digunakan perempuan Dayak saat ke hutan untuk mengambil sayur, buah-buahan, bahkan tanaman obat. Pemandangan itu mudah dijumpai di pelosok dan pedalaman Kalteng, termasuk di Desa Rangan Surai, Kecamatan Marikit, Kabupaten Katingan, desa tempat Laurensia dan keluarganya tinggal.
Tak lama berselang, Laurensia memilin rotan yang dipotong rapi dan mulai menganyam. Butuh waktu tiga hari untuk membuat lanjung.
Tidak jauh dari situ, asap dari tungku api mengepul di dapur. Rotan muda yang ia rebus sedari tadi mulai menguning tanda matang. Laurensia pun berlari-lari kecil ke dapur. Ia lantas menambahkan santan dan beberapa bumbu. Jadilah juhu umbut rotan atau sayur rotan muda.
”(Umbut rotan) ini baru saya ambil di kebun dekat rumah tadi pagi. Sekalian saya panen rotan. Lumayan dapat sekitar 50 kilogram tadi,” ujar Laurensia.
Rotan tersebut dipanen Laurensia sekitar pukul 10.00 bersama adiknya, Jonson (46), dan Muliana (45), tetangganya. Rotan taman (Tebu caesius) itu tumbuh di kebun yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumahnya.
Kebun seluas 2 hektar itu lebih mirip hutan. Tanaman rotan merambat di batang pohon durian hutan dan pohon lain yang tumbuh liar di kebun.
Selain memanen rotan, Jonson menyempatkan menengok padi ladang yang ditanam tak jauh dari kebun itu. Selanjutnya, Jonson dan Muliana beristirahat di pondok dekat kebun. Di pondok itu, ratusan kilogram rotan sudah dibersihkan, diikat rapi, dan ditutup terpal.
”Ini sedang diasapi pakai belerang. Belerangnya kami beli di Kasongan. Katanya, sih, belerang dari Jawa. Kami pakai belerang supaya lebih cepat kering dan warna kuningnya sempurna,” kata Jonson.
Di saat Jonson memeriksa rotan-rotannya yang kering, Muliana mengeluarkan beberapa buah, seperti cempedak, durian, dan kapul (sejenis manggis) dari dalam lanjung.
”Sejak kecil saya diajari ibu masuk ke hutan membawa lanjung, mengambil rotan untuk dimasak atau untuk dianyam membuat lanjung atau tikar,” kata Muliana.
Selain untuk membuat lanjung dan tikar, rotan juga digunakan Muliana untuk membuat kusak, tas untuk menyimpan benih saat menanam padi.
Pengalaman Muliana, Jonson, dan Laurensia menunjukkan rotan lekat dengan kehidupan masyarakat Dayak sejak lama. Budidaya rotan muncul sejak lama karena masyarakat Dayak butuh rotan.
Dalam buku Rotan Indonesia karya Januminro (2000) disebutkan, rotan bahkan digunakan sebagai obat tradisional yang mampu menghilangkan rasa sakit untuk ibu-ibu saat melahirkan. Rotan tersebut biasa disebut rotan selian (Calamus ornatus Bl).
Januminro juga menuliskan, lelaki Dayak menggunakan rotan untuk mengikat kayu atau tiang-tiang saat membuat rumah panjang atau yang disebut huma betang khas Dayak.
Rotan digunakan untuk mengikat kayu baja atau ulin sebagai penyangga. Rotan dipilih karena paling kuat sebagai tali daripada akar-akaran atau tumbuhan merambat lainnya di hutan hujan tropis Kalimantan.
Selain laki-laki, perempuan Dayak juga banyak memanfaatkan rotan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka membuat tikar, sarung bantal, dan kriya rotan lainnya.
”Kedekatan masyarakat Dayak dengan rotan sudah terjadi sejak manusia Dayak itu ada. Dulu rotan hanya tumbuh liar lalu dimanfaatkan. Lambat laun dibudidayakan setelah tahu banyak manfaatnya,” ucapnya saat ditemui di Palangkaraya, Senin (4/1).
Tradisi kuliner umbut rotan juga populer di restoran, bahkan kafe di Palangkaraya atau daerah lain di Kalteng. Ada yang dibuat kripik, ada pula yang disayur.
Perangkap modern
Rotan pada awalnya didominasi dari jenis rotan irit dan taman yang ada di daerah aliran Sungai Barito dan Mentaya. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak rotan jenis baru dibudidayakan.
Hal itu sejalan dengan permintaan pasar yang meningkat atas rotan untuk bahan baku mebel. Permintaan itu juga datang dari luar negeri.
Petani Dayak pun berbondong-bondong membudidayakan rotan. Mereka menanam rotan di hutan wilayah kelolanya. Hal itu menjadi perangkap modern karena banyak petani hutan menjadikan rotan sebagai sumber utama.
Di tengah lesunya industri rotan akibat larangan ekspor, banyak petani rotan beralih ke pekerjaan lain. Ada yang menjadi buruh sawit, ada pula yang beralih menjadi pekerja migran. Rotan pun tak dipanen.
Di Katingan, misalnya, ada sekitar 325.000 hektar lahan yang berisi rotan dengan estimasi 15.000 ton per tahun. Praktis hanya sebagian kecil dari jumlah itu yang dipanen.
”Saat ini kami masih berupaya menghidupkan kembali rotan, tetapi tidak bisa usahanya hanya dari kabupaten, harus ada upaya yang matang juga dari provinsi dan pemerintah pusat,” ungkap Bupati Katingan Sakariyas.
Bagi Sakariyas, masa kejayaan rotan bagi masyarakat Dayak belum hilang. Meskipun industrinya lemah, rotan menjadi primadona di dunia usaha mikro, kecil, dan menengah.
Banyak ibu-ibu Dayak mengembangkan anyaman kriya rotan yang mereka pelajari turun-temurun menjadi barang bernilai jual tinggi. Anyaman khas Dayak itu bahkan dijual sampai ke luar negeri.
”Produksi memang turun terus, tetapi selalu ada upaya di balik itu. Ada berkah yang dicari. Apalagi dengan tetap mempertahankan kearifan lokal,” ungkap Sakariyas.
Meski industri lesu, rotan memang tidak ada matinya bagi suku Dayak. Bagi mereka, rotan tidak sekadar persoalan komoditas dan uang, tetapi juga budaya yang harus dijaga.
Budaya yang mereka dapat dari ibu-ibu Dayak ke anak perempuannya dan dari ayah ke anak laki-lakinya. Siasat menjaga budaya dan rotan itu berulang.