Istilah ”daboribo” cukup akrab di masyarakat kita. Ketik kata ini di mesin pencari, langsung muncul di banyak tempat di Indonesia. Singkatan dari ”damai boleh, ribut boleh” ini menjadi nama organisasi masyarakat, suporter bola, geng, hingga judul lagu dan klub olahraga tinju.
Belum ada bukti jelas kapan kata yang tidak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia itu mengakrabi masyarakat kita. Namun, secara umum, daboribo tak beda jauh dengan ”senggol bacok” atau ”lo asyik gue santai, lo usik gue bantai”.
Sesama pengguna kendaraan bermotor di jalan raya yang berserempetan biasa dengan saling umpat, berkelahi, main keroyok melibatkan kelompok pendukung masing-masing.
Norma? Sopan santun? Sepertinya suka menghilang begitu saja dari ingatan. Bagaimana dengan hukum resmi produk negara? Entah tidak paham, merasa bisa menelikung aturan, atau mungkin tidak terpikirkan saja konsekuensinya.
Masih segar video AS (21), pemuda asal Lampung penjual kopi di Pasar Modern BSD, Serpong, Tangerang Selatan. Ia memilih menghancurkan sepeda motornya daripada ditilang polisi karena melawan arus, tidak memakai helm, dan tidak membawa surat kendaraan. Kini, AS menghuni bui menghadapi tuduhan penggelapan serta pelenyapan barang bukti.
Publik yang masih terpana dengan kelakuan AS makin merinding menyimak kasus SMN (29) di Kota Tangerang yang membunuh bayinya, MS (4 bulan). Kepada istrinya dan polisi, SMN mengaku lelah seharian bekerja dan kesal ketika di rumah diminta menggendong bayinya yang menangis. Ia memukul MS hingga tangis dan hidupnya berhenti.
Pada 30 Januari 2019, PI (24) ditegur Abdurachman (60) karena menenggak alkohol dan ribut dengan temannya. PI berbalik membunuh si pria tua, ayah kandungnya sendiri.
Di dunia maya, dunia media sosial kini tak kalah riuh panas. Dianggap salah kata sedikit saja, orang bisa mem-bully ramai-ramai orang lain. Baik perundung maupun yang dirundung—pejabat, presiden, ulama, atau anak SD—seolah sudah sama-sama bukan manusia.
Ahli kesehatan jiwa menyebutkan, kemacetan, persaingan, dan tuntutan di tempat kerja, pola hidup buruk, serta adanya trauma psikis dari lingkungan membuat warga Jakarta dan sekitarnya rentan mengalami depresi. Beban pikiran yang dihadapi melebihi kapasitas yang dimiliki seseorang. Akibatnya, masalah sosial, ekonomi, juga kriminal banyak ditemui di masyarakat (Kompas, 9 Februari 2019).
Depresi sebenarnya bisa dideteksi dini gejalanya, seperti murung, sedih, atau mudah emosi. Penanganan depresi ringan bahkan sederhana, curahkan saja beban pikiran kepada orang terdekat yang dipercaya atau kepada profesional di bidangnya.
Di sisi lain, dengan semua kejadian di depan mata, bahkan pernah atau sedang terlibat di dalamnya, sudah sepantasnya masyarakat makin mau belajar mengatasi sendiri masalah ini. Belajar mengendalikan diri. Pun pemerintah perlu aktif menelurkan program riil untuk mereduksi isu bersama ini.
Sebagai manusia yang katanya satu-satunya makhluk hidup berakal dan beradab, masa iya mau hidup bagai di rimba. Malah betah dan bangga menjadi warga daboribo. Waduh!