Diponegoro dalam Tafsir Visual
Lukisan itu menggambarkan Pangeran Diponegoro sedang duduk bersila di tengah hutan bersama dua pengikut setianya. Di depan mereka, ada seekor harimau dan seekor rusa. Melihat kedatangan harimau itu, salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro terlihat bersiaga. Namun, sang pangeran justru tampak sangat tenang.
Lukisan karya Setyo Priyo Nugroho yang berjudul ”Tepeng” itu dibuat berdasar pupuh ke-39 Babad Diponegoro, sebuah naskah yang berisi kisah hidup Pangeran Diponegoro dan ditulis sendiri oleh pangeran dari Keraton Yogyakarta tersebut. Pupuh itu menceritakan salah satu kejadian mistis yang dialami Pangeran Diponegoro dan dua pengikut setianya, yakni Banteng Wareng dan Joyosuroto, ketika berada di sebuah hutan.
Saat itu, Pangeran Diponegoro kedatangan ”tamu tak diundang”, yakni seekor harimau yang mendekat sambil menggiring seekor rusa. Begitu menyaksikan kehadiran harimau itu, Banteng Wareng dan Joyosuroto merasa ketakutan, tetapi Diponegoro menenangkan keduanya karena hewan berjuluk Tepeng tersebut tak berniat jahat. Ya, Tepeng ternyata mendatangi Pangeran Diponegoro untuk mengantarkan seekor kijang sebagai makanan untuk sang pangeran dan pengikutnya.
Kisah mistis yang belum banyak dikenal itu—bersama lukisan Setyo Priyo Nugroho yang menjadi visualisasi atasnya—bisa kita temukan dalam Pameran Sastra Rupa bertajuk Gambar Babad Diponegoro. Sesuai judulnya, pameran yang berlangsung pada 1-24 Februari 2019 di Jogja Gallery, Yogyakarta, itu menampilkan lukisan-lukisan yang dibuat berdasar Babad Diponegoro.
Babad Diponegoro ditulis Pangeran Diponegoro saat dia diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada 1831-1832. Naskah yang memiliki lebih dari 100 pupuh dan 1.000 halaman itu pada 2013 telah ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai Memory of the World atau Ingatan Dunia.
Tentu saja, tak semua isi Babad Diponegoro ditampilkan dalam pameran Gambar Babad Diponegoro. Dalam pameran hasil kerja sama Jogja Gallery dan Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) itu dipilih 50 adegan yang merepresentasikan kisah hidup Diponegoro sejak kecil hingga ia ditangkap militer Belanda pada 1830. Adegan-adegan terpilih itu kemudian disodorkan kepada 51 pelukis kontemporer Indonesia untuk dibuat karya visualnya.
Hampir semua pelukis yang terlibat mendapat jatah untuk melukis berdasar satu adegan yang berbeda satu sama lain. Namun, dua pelukis, yakni Haris Purnomo dan Ronald Manullang, mendapat permintaan khusus membuat lukisan berdasarkan satu adegan yang sama. Proses pemilihan adegan dan pelukis yang terlibat dilakukan oleh tim Patra Padi dan Jogja Gallery beserta dua kurator, yakni dosen Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Mikke Susanto, dan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana.
Ketua Patra Padi Roni Sodewo menuturkan, pameran Gambar Babad Diponegoro bertujuan mengenalkan kembali kisah hidup Pangeran Diponegoro, terutama berkait dengan sisi lain sang pangeran yang belum banyak diketahui publik. Menurut Roni, upaya ini mesti dilakukan karena selama ini masyarakat—terutama para murid sekolah—cenderung memahami sosok Diponegoro hanya sebagai panglima Perang Jawa (1825-1830).
”Selama ini, kita melihat sosok Diponegoro sebagai sosok yang sudah jadi, yakni sebagai panglima perang. Sementara bagaimana Diponegoro berproses menjadi sosok semacam itu tidak diceritakan. Kalaupun diceritakan, dengan cara yang sangat berat sekali, misalnya dengan buku Kuasa Ramalan dan Takdir (karya sejarawan Peter Carey),” ujar Roni di sela-sela pembukaan pameran, Jumat (1/2/2019) malam.
Dalam pameran ini, kita memang menemukan sejumlah kisah ihwal Pangeran Diponegoro yang mungkin belum dikenal luas. Selain kisah kedatangan harimau bernama Tepeng, ada cerita sang pangeran saat bertemu Nyi Roro Kidul, kisah Diponegoro muda yang menyamar sebagai rakyat jelata, juga peristiwa ketika Diponegoro mendapat hadiah kuda dari pemimpin tentara Belanda.
Ragam lukisan
Meski diharuskan melukis berdasar Babad Diponegoro, para perupa dalam pameran ini tak menghasilkan lukisan dengan corak seragam. Sebab, tiap perupa punya tafsir dan pendekatan sendiri. Oleh karena itu, lukisan-lukisan dalam pameran ini bukanlah sebuah ilustrasi, melainkan lebih tepat disebut sebagai tafsir visual atas kisah hidup Diponegoro.
Mikke Susanto menuturkan, lukisan-lukisan dalam pameran Gambar Babad Diponegoro bisa dibagi ke dalam sejumlah kategori. Salah satunya adalah lukisan-lukisan yang dibuat dengan mengikuti alur cerita Babad Diponegoro secara ketat. Manifestasi dari lukisan jenis ini antara lain berupa gambar rekonstruktif, naratif, dan realistik, seperti pada lukisan karya Setyo Priyo Nugroho, Bambang Cipto Purnomo, Dadi Setiyadi, Laila Tifah, Mahdi Abdullah, dan Muhammad Andik ”Gus Black”.
Ada pula pelukis yang berupaya mengikuti alur cerita dalam babad, tetapi memunculkan bentuk visual yang non-realistik. Contoh paling bagus dari kategori ini adalah lukisan Nasirun yang dibuat berdasar kisah Pangeran Diponegoro dan istrinya, Raden Ayu Maduretno, saat menyaksikan Gunung Merapi meletus. Dalam lukisan berjudul ”Merapi Meletus dari Awang-awang” itu Diponegoro dan Maduretno hadir dalam bentuk wayang kulit bertubuh kecil, sementara letusan Merapi digambarkan sebagai semburan merah yang begitu besar dan menyebar ke segala arah.
Sementara itu, sejumlah perupa memilih membuat lukisan yang tak mengacu secara ketat pada kisah Babad Diponegoro. Contoh ekstrem dari kategori ini adalah lukisan Hadi Soesanto dan Stefan Buana. Hadi, yang harusnya melukiskan kisah Diponegoro dan sejumlah bangsawan sedang memilah-milah ikan di tambak justru menggambar 12 cangkir blirik yang salah satunya berisi ikan. Adapun Stefan, yang kebagian menggambarkan pertemuan Pangeran Diponegoro dengan sosok Ratu Adil, justru membuat lukisan dengan media campuran yang berisi wajah Gus Dur.
Kehadiran lukisan-lukisan yang ”melenceng” jauh dari Babad Diponegoro itu tentu sah-sah saja dan mungkin turut memperkaya tafsir atas kisah hidup Pangeran Diponegoro. Namun, kejutan terbesar dalam pameran Gambar Babad Diponegoro justru tak datang dari lukisan semacam itu. Salah satu karya paling menawan dalam pameran ini, yakni lukisan berjudul ”Magelang Pagi Hari 28 Maret 1830” karya Ronald Manullang, justru memiliki relasi cukup kuat dengan Babad Diponegoro.
Dalam pameran ini, Ronald menggambarkan suasana perundingan Diponegoro dengan tentara Belanda di Magelang pada 1830 yang kemudian berujung penangkapan dan pengasingan sang pangeran. Namun, Ronald tak hanya menyajikan suasana perundingan, tetapi juga menghadirkan sejumlah obyek sebagai simbol dari beragam kisah yang dialami Pangeran Diponegoro selama hidupnya.
Di lukisan itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Merkus de Kock digambarkan tengah memegang miniatur Benteng Rotterdam yang kelak menjadi tempat penahanan Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan. Di sisi lain, Kolonel Cleerens—yang merupakan bawahan de Kock—digambarkan membawa buah-buahan dan minuman sebagai simbol hadiah untuk membujuk Diponegoro.
Dalam lukisan tersebut juga terdapat dua perempuan, yakni istri Diponegoro, Raden Ayu Maduretno, serta seorang perempuan China yang disebut pernah menjalin hubungan dengan sang pangeran. Dengan cara semacam itu, Ronald bukan hanya berhasil menghidupkan satu momen dalam kehidupan Diponegoro, seperti yang dilakukan para pelukis lain dalam pameran ini, tetapi juga menyajikan lapis-lapis kisah tentang sang pangeran.
Hadirnya lukisan dengan beragam pendekatan itu membuat pameran Gambar Babad Diponegoro menjadi sarana untuk lebih memahami seni rupa, terutama dalam kaitannya dengan sejarah dan sastra.