JAKARTA, KOMPAS - Gempa bumi berkekuatan magnitudo di bawah 5 dua kali mengguncang Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, pada Minggu (10/2/2019) malam. Kedua gempa itu tidak berpotensi memicu tsunami. Gempa itu juga tidak ada kaitannya dengan potensi gempa segmen Mentawai.
Dari laporan yang diterima BMKG, guncangan kedua gempa ini dirasakan di daerah Bengkulu III MMI dan Kepahiang I-II MMI. BMKG juga belum mendapat laporan dampak kerusakan yang ditimbulkan. Gempa bumi pertama terjadi pada pukul 21.00, dengan kekuatan magnitudo 4,8 SR. Episenter gempa terletak pada koordinat 4,55 Lintang Selatan (LS) dan 101,61 Bujur Timur (BT).
Sementara gempa kedua terjadi pada pukul 21.17 dengan kekuatan magnitudo 4,7 SR. Episenter gempa bumi terletak pada koordinat 4,55 LS dan 101,65 BT, atau berjarak 108 km arat barat daya Kota Bengkulu pada kedalaman 20 km.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono, mengatakan gempa tersebut tidak ada kaitan dengan potensi gempa bumi berkekuatan magnitudo 8,9 di segmen Mentawai, di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Ia mengakui sampai saat ini potensi gempa itu belum bisa diprediksi kapan terjadi, dimana, dan berapa kekuatannya. Bahkan negara yang memiliki peralatan pengamatan gempa bumi canggih seperti Amerika dan Jepang sekalipun belum mampu mendeteksi gempa itu.
Namun, ada beberapa pendekatan untuk memprediksi gempa bumi itu terjadi melalui sejarah kegempaan dan seismik gap. Seismik gap adalah suatu kekosongan atau tidak adanya aktivitas kegempaan tertentu dibandingkan daerah sekitarnya.
Data BMKG, diketahui seismisitas kegempaan dengan magnitudo di atas 6 SR dari periode tahun 1973-2018 menunjukkan ada sedikit aktivitas kegempaan di sekitar Kepulauan Mentawai, khususnya segmen Siberut. Adapun data seismisitas kegempaan pada tahun 1900-2018, seperti beberapa kawasan jalur subduksi zona megathrust Mentawai termasuk zona seismik gempa.
"Dari penelitian para ahli seismik, zona megathrust mentawai masih menyimpan potensi gempa bumi dengan kekuatan magnitudo 8,9," ucapnya.
Kawasan itu pernah mengalami gempa besar pada tahun 1797 dengan magnitudo 8,7-8,9 SR. Pada tahun 1883 di wilayah Sipora dengan magnitudo 8,9-9,1 SR dengan periode ulangan 200-300 tahun.
Menurut Rahmat, peristiwa gempa yang akhir-akhir ini sering terjadi di sepanjang jalur subduksi (megathrust) di zona seismik gap ditenggarai merupakan proses pecahnya kuncian-kuncian yang selama ini menghambat pergerakan tektonik pada zona seismik itu. Adapun dengan berkurangnya faktor pengunci, maka memperbesar kemungkinan zona megathrust melepaskan seluruh energi yang tersimpan.
Dari berbagai penelitian, kata Rahmat, peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terutama yang tinggal di wilayah pesisir menjadi kunci utama. Adapun daerah yang berpotensi terdampak tsunami, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kabupaten Pesisir Selatan.
Menurut Kepala Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah II Tangerang, Joko Siswanto, dari letak kedua lokasi episenter dan kedalaman hiposenter, gempa yang terjadi di Bengkulu ini merupakan jenis gempa bumi dangkal. Gempa ini diakibatkan aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia yang menyusup ke bawah lempeng Eurasia dan terjadi deformasi batuan, hingga memicu gempa bumi.
"Dari hasil pemodelan, menunjukkan bahwa gempa tidak berpotensi tsunami. Jadi, kepada masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh isu yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya," katanya. (STEFANUS ATO)