HPN, Kasus Prabangsa, dan Upah Rendah Jurnalis
Dua dekade terakhir, kebebasan pers di Indonesia dinilai membaik. Meskipun begitu, kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Tingginya angka kasus kekerasan terhadap jurnalis hingga sejumlah masalah yang membelit jurnalis seiring memburuknya kondisi industri media menjadi ancaman bagi kebebasan pers. Kebebasan pers di Indonesia masih harus diperjuangkan.
Meski akhirnya dibatalkan, pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama, terpidana pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, sempat mendapat reaksi keras dari kalangan pers, aktivis, maupun masyarakat. Keputusan yang diambil dua bulan sebelum Hari Pers Nasional 2019 tersebut dinilai sebagai langkah mundur bagi penegakan kebebasan pers di Indonesia.
Sesuai Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara, Susrama yang merupakan auktor intelektualis pembunuhan Prabangsa mendapatkan remisi dari hukuman seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Keputusan ini sangat ironis karena pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa pada 2010 menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.
Pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa pada 2010 menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.
Selama ini, jarang sekali kasus kekerasan terhadap jurnalis yang berhasil diungkap secara tuntas, apalagi pelakunya dihukum berat. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), masih ada delapan kasus pembunuhan jurnalis yang belum terungkap.
Karena itu, keputusan Presiden Joko Widodo menandatangani keppres pencabutan remisi kepada Susrama, disambut baik. Kecepatan pemerintah menangkap aspirasi publik ini perlu diapresiasi meski setelah ini masih ada kasus-kasus pembunuhan jurnalis lainnya yang juga harus dituntaskan pengungkapannya.
Terkait kekerasan terhadap jurnalis, kasus di Indonesia juga tergolong tinggi. Dalam catatan akhir tahun 2018, AJI mencatat ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis berupa pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini lebih banyak dari tahun 2017 yang sebanyak 60 kasus.
Bahkan, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, tahun 2018 masih menempatkan Indonesia pada peringkat ke-124 dari 180 negara. Dengan peringkat ini, prestasi Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan pers masih jauh di bawah Timor Leste (peringkat ke-95), Afghanistan (peringkat ke-118), atau Nigeria (peringkat ke-119).
Kesejahteraan jurnalis
Selain soal ancaman kekerasan, persoalan serius lain yang kini sedang membelit jurnalis di Indonesia adalah upah rendah. Riset International Federation of Journalists dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara (South East Journalist Unions) didukung UNESCO menunjukkan, ancaman paling serius bagi jurnalis saat ini justru berasal dari perusahaan media itu sendiri. Upah rendah dan penggajian tidak teratur dari perusahaan membuat jurnalis sulit bekerja profesional serta rawan menerima sogokan.
Ancaman paling serius bagi jurnalis saat ini justru berasal dari perusahaan media itu sendiri. Upah rendah dan penggajian tidak teratur dari perusahaan membuat jurnalis sulit bekerja profesional serta rawan menerima sogokan.
“Riset ini melibatkan hampir 1.000 jurnalis dan pekerja media dari Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste. Sebanyak 81 persen dari total responden menyebutkan situasi (industri) media di negara mereka tidak mengalami perbaikan dan justru memburuk,” kata Plt Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington, akhir pekan lalu.
Memburuknya kondisi industri media berimbas pada pemberian upah rendah dan pembayaran gaji yang tidak teratur kepada jurnalis. Situasi ini memengaruhi profesionalitas jurnalis dalam bekerja dan mengakibatkan mereka rawan menerima suap yang jelas-jelas bertentangan dengan kode etik jurnalistik.
Jurnalisme abal-abal dan media partisan
Di tengah minimnya kesejahteraan jurnalis, Dewan Pers kini ditantang untuk menata ulang pers dari praktik abal-abal jurnalisme. “Persoalan ini mendesak karena Dewan Pers menerima banyak pengaduan munculnya media yang memeras dan menyerang tanpa mengindahkan sama sekali kode etik jurnalistik,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley.
Menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta pemilihan umum legislatif, Dewan Pers juga mengamati munculnya media-media partisan yang berafiliasi ke partai-partai politik. Menyikapi hal ini, Dewan Pers ditantang untuk tegas mengingatkan para pemilik media agar media mereka tetap independen dan memegang teguh kode etik jurnalistik.
Berbagai upaya peningkatan profesionalitas media telah dilakukan Dewan Pers, antara lain dengan menggelar verifikasi perusahaan pers dalam beberapa tahun terakhir. Namun, langkah ini terlampau berat untuk dituntaskan karena dari perkiraan jumlah media di Indonesia sekitar 47.000, baru 2.400 perusahaan media yang bisa diverifikasi.
Persoalan-persoalan mendasar pers Indonesia, seperti kasus kekerasan terhadap jurnalis, rendahnya kesejahteraan jurnalis, dan kode etik jurnalistik turut seharusnya turut dibahas pada kegiatan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 di Surabaya, Jawa Timur, beberapa hari terakhir.
HPN 2019 yang mengangkat tema khusus ”Pers Menguatkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital” memang memasukkan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan persoalan kode etik jurnalistik, terutama menyangkut sikap pers di tahun politik. Kegiatan ini tampak dalam acara Deklarasi Kebangsaan: #SantunBermedia2019, Menyongsong Pesta Demokrasi Dengan Keadaban Bermedia serta workshop Peliputan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden Tahun 2019 yang digelar, Rabu (6/2/2019) di Surabaya Convention Hall. Sementara itu, kegiatan-kegiatan yang membahas persoalan kekerasan terhadap jurnalis dan kesejahteraan jurnalis tidak banyak disinggung dalam rangkaian kegiatan HPN 2019.
Nyaris sebagian besar kegiatan yang digelar di HPN 2019 berkaitan dengan tema-tema perekonomian, seperti seminar nasional tentang tol laut, diskusi optimalisasi fungsi Media di era disrupsi dalam menumbuhkan ekonomi masyarakat, seminar jurnalisme kemaritiman di era revolusi 4.0, dan sebagainya.
“Pers harus membawa manfaat yang konkret bagi masyarakat,” kata Penanggung Jawab HPN 2019 Margiono.
Urusi masalah pers
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen, Abdul Manan, berpendapat, seharusnya HPN lebih banyak memberikan porsi kepada apa yang menjadi masalah pers, bukan membahas hal-hal lain yang jauh dari urusan pers.
“Kita tahu kasus kekerasan terhadap pers masih menjadi masalah umum karena jumlah kekerasan terhadap pers di Indonesia masih tinggi. Harusnya, ini menjadi konsen komunitas pers dan penyelenggara HPN,” kata dia.
Seharusnya HPN lebih banyak memberikan porsi kepada apa yang menjadi masalah pers, bukan membahas hal-hal lain yang jauh dari urusan pers.
Selain kekerasan terhadap pers, komunitas pers juga masih mempunyai masalah Kita Undang-Undang Hukum Pidana yang bisa memenjarakan wartawan, UU ITE yang bisa menjerat wartawan ke ranah pidana.
Memasuki era digitalisasi, pers juga masih didera masalah ekonomi bisnis media yang belum membaik dengan ditandai gulung-tikarnya sejumlah perusahaan media. “Problematika-problematika ini yang harus banyak dibahas bukan malah membahas ekomomi maritim atau pariwisata yang bisa ditangani oleh pemerintah,” ujar Abdul.
Di tengah kepeduliannya terhadap publik, pers Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam menuntaskan kasus-kasus pembunuhan terhadap jurnalis.
Lalu, kapan persoalan-persoalan mendasar pers Indonesia tersebut akan dibahas? Terkait hal ini, semua pemangku kepentingan di dunia pers perlu berkumpul dalam satu gelombang yang sama untuk berembug dan mencari jalan keluar bersama-sama.