JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 188 terpidana korupsi dan pidana umum masih menjadi buronan Kejaksaan. Kejaksaan Agung melalui program Tangkap Buronan 31.1 yang digagas sejak 2018 terus berupaya untuk menangkap para terpidana yang belum dapat dieksekusi hingga saat ini karena keberadaannya tak diketahui.
Tahun lalu, berdasarkan data Kejagung, 395 buron diburu. Dari jumlah tersebut, 207 buron telah ditemukan dan dieksekusi kejaksaan yang bersinergi dengan tim kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar buron ini merupakan terpidana korupsi yang kasusnya ditangani kejaksaan seluruh Indonesia. Melalui program Tangkap Buronan 31.1 ini, tiap kejaksaan tinggi ditargetkan untuk menangkap 1 buron tiap bulan.
“Yang pasti tidak ada tempat yang aman untuk para buronan. Lebih baik segera menyerahkan diri di kejaksaan, hanya tinggal waktu saja. Masyarakat juga dapat memberikan informasi ke kejaksaan terdekat apabila mengetahui lokasi keberadaan buron yang sedang kami cari,” kata Direktur Teknologi Informasi Produksi Intelijen pada Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung Yunan Harjaka di Jakarta, Sabtu (9/2/2019).
Pada Jumat (8/2), Kejaksaan Negeri Jakarta Barat menangkap buron perkara korupsi pengambilalihan lahan bangunan milik PT Kereta Api Indonesia yang merugikan negara Rp 39 miliar. Direktur PT Dwiputra Metropolitan Anis Alwainy itu ditangkap di sebuah rumah di Kemanggisan, Palmerah, setelah menghilang sejak 2017. Ia dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung (MA) dengan pidana 7 tahun penjara dan diperintahkan membayar denda Rp 500 juta sarta uang pengganti Rp 39 miliar.
Sebelumnya, pada Rabu (6/2), tim intelijen Kejaksaan Tinggi Bali dan tim KPK menangkap petinggi Tripanca Group Sugiarto Wiharjo alias Alay di Bali yang menghilang sejak 2012. Sugiarto terlibat perkara korupsi APBD Lampung Timur yang merugikan negara Rp 106,8 miliar bersama Bupati Lampung Timur Satono. Hingga saat ini, Satono masih dicari setelah dihukum 18 tahun penjara oleh MA, tahun 2014 lalu.
Tak ditahan
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri, para terpidana yang buron ini karena tidak ditahan saat proses hukum berlangsung. Berbeda dengan KPK yang segera menahan tersangka, tidak semua tersangka korupsi yang kasusnya ditangani Kejaksaan ditahan saat proses penyidikan berjalan.
“Tapi ada juga yang saat menjadi terdakwa, penangguhan penahanannya justru dikabulkan pengadilan. Ini di luar kuasa kami. Ada yang saat menunggu proses perkara inkracht status penahanannya diubah atau ditangguhkan. Ini yang kemudian sulit untuk dieksekusi saat putusan berkekuatan hukum tetap keluar,” tutur Mukri.
Hal ini pernah terjadi pada seorang terdakwa dalam perkara korupsi pembangunan Dermaga Labuan Haji di Lombok Timur tahun anggaran 2007-2011,yakni pengusaha Ichsan Suaidi. Dalam perkara ini, Ichsan yang sudah divonis 5 tahun penjara oleh MA justru menyuap pegawai MA yang belakangan terungkap setelah ditangkap KPK. Saat itu, status Ichsan berubah dari tahanan penjara menjadi tahanan kota hanya karena telah menyerahkan uang yang nilainya dua kali lebih besar daripada kerugian negara yang ditimbulkan dari perkaranya.
Pada dasarnya, penahanan mengacu pada Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyebutkan penahanan dilakukan penyidik atau penuntut umum apabila ada kecenderungan orang tersebut melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya kembali. Syarat lainnya, yang bersangkutan diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Secara terpisah, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, penahanan di KPK tergantung dengan proses penyidikan yang berjalan jika perkaranya merupakan pengembangan. Namun, untuk kasus yang melalui operasi tangkap tangan, penahanan segera dilakukan setelah status yang bersangkutan resmi menjadi tersangka. Upaya untuk menangkap buronan juga selalu dilakukan bersama kejaksaan.
Oce Madril dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM menegaskan, perkara serius seperti korupsi semestinya tidak ada tebang pilih. Penegak hukum, tidak hanya KPK, wajib melakukan penahanan.
“Selain untuk antisipasi kabur, juga untuk kelancaran proses hukum. Konsekuensi jika tidak ditahan, barang bukti juga bisa dihilangkan. Pengadilan juga semestinya tidak mengabulkan penangguhan, perintahnya harus tetap di tahanan,” kata Oce.