Ketulusan Melintasi Rasisme
Segala perbedaan jika dipertemukan dalam bingkai kemanusiaan akhirnya berujung keindahan. Akan tetapi, butuh banyak pengorbanan, terutama egosentrisme. Pertemanan Tony Lip dan Donald Shirley menguatkan anggapan bahwa ketulusan dapat melintasi segala sekat primordialisme.
Film Green Book diangkat dari kisah nyata pertemanan antara Donald Shirley yang berdarah Afro-Amerika dan Tony Lip yang berdarah Amerika-Italia. Tony yang bernama asli Frank Anthony Vallelonga ini diperankan Viggo Mortensen. Ia menyopiri dan melindungi Don (Mahershala Ali) selama dua bulan dalam tur musiknya keliling beberapa kota, seperti Midwest Kentucky, North Carolina, Tennessee, dan Birmingham pada 1962. Don tur bersama dua rekan lainnya, tetapi film ini fokus pada relasi Don dan Tony. Pilihan fokus yang efektif dalam membangun narasi.
Don dan Tony memiliki sisi yang bertolak belakangan dalam banyak hal. Don berkulit hitam, terpelajar, hingga meraih gelar doktor, berdisiplin tinggi, penuh etika, dan lemah lembut dalam bertutur. Adapun Tony berkulit putih, cenderung mudah main tangan dalam menyelesaikan masalah, gemar judi, agak culas, banyak makan, dan meludah sembarangan.
Pertemuan Tony dan Don ibarat dua arus dalam satu sungai, sulit berjalan harmonis. Tony selalu merasa aneh dengan perilaku Don yang terukur, penuh sopan santun, dan disiplin, tetapi diam-diam dia mengagumi kepiawaian serta kecerdasannya dalam bermusik. Don juga kerap memprotes cara Tony yang urakan, tetapi lambat laun menirunya dan mendapatkan sensasi yang membahagiakan.
Dalam salah satu adegan digambarkan Tony demikian lahap memakan ayam goreng sembari menyetir mobil. Beberapa remah ayam goreng terbang ke belakang mengenai baju dan tempat duduk Don. Ia protes karena itu dia anggap bukan cara yang benar. Namun, Tony malah menawarinya dengan sugesti bahwa ada kenikmatan tersendiri makan ayam dengan tangan langsung.
Don akhirnya makan dan menyadari bahwa makan ayam goreng dengan langsung menggigitnya sungguh luar biasa nikmat.
Akan tetapi, bukan Tony kalau dia tidak urakan. Saat ditanya tempat membuang sampah, Tony membuka jendela mobil dan melempar tulang ayam ke jalan. Don menirunya. Namun, Don meminta Tony memundurkan mobil untuk mengambil gelas plastik yang Tony buang. Baginya, sampah tulang ayam tidak menjadi masalah karena bisa menjadi santapan tupai, tetapi tidak dengan sampah plastik.
Adegan ini memuat banyak pesan penting. Bahwa sampah organik tidak pernah membahayakan bumi, tetapi tidak dengan sampah plastik. Bahwa, boleh saja urakan, tetapi tetap harus paham aturan. Bahwa, Tony dan Don dapat bertingkah dalam ayunan yang sama karena berpikir terbuka.
Saling memahami
Pertemuan Tony dan Don kemudian menjadi sahabat abadi hingga keduanya meninggal pada 2013. Ikatan emosi yang terbangun selama perjalanan mengikuti tur Don melunturkan segala prasangka terhadap kulit hitam dan sebaliknya. Dengan kata lain, ketika dua pihak dengan beragam perbedaannya berusaha untuk saling memahami, bakal berujung pada hidup penuh harmoni.
Tidak menjadi soal jika pertemanan mereka terjadi di zaman sekarang ketika kesadaran terhadap kesamaan hak semakin menguat. Akan tetapi, hubungan mereka menjadi anomali karena terjadi di tahun 1960-an tatkala sentimen rasial masih demikian kuat. Apalagi, kala itu, kelompok kulit hitam tengah berjuang mendapatkan kesamaan hak sehingga kebencian sebagian besar kulit putih terhadap kulit hitam pun meningkat.
Dalam satu kasus pada 1956, Pianis berkulit hitam, Nat King Cole, pernah dipukul dan ditarik dari atas panggung oleh sekelompok kulit putih ketika tampil di Auditorium Municipal, Birmingham. Padahal, dia datang dan tampil atas undangan orang-orang kulit putih. Peristiwa tersebut menjadi salah satu kenangan traumatik bagi sebagian kulit hitam, terutama para musisi.
Pada masa-masa itu kaum kulit hitam sedang berjuang untuk mendapatkan persamaan hak. Peristiwa yang paling bersejarah antara lain aksi pejuang hak asasi manusia Martin Luther King Jr yang membela kelompok kulit hitam dari penindasan serta memboikot kebijakan pemisahan bus untuk kulit hitam dan putih. Secara sosio-politik, kondisi saat itu tidak baik-baik saja.
Don sadar betul kondisi tersebut dan peristiwa yang menimpa Cole dapat terulang pada dirinya. Akan tetapi, dia beranggapan bahwa dalam kondisi seperti itu menjadi orang cerdas saja tidak cukup. Harus ditambah keberanian untuk mengubah persepsi banyak orang. Itulah alasan dia memutuskan keliling tampil di berbagai kota dengan audiens kulit putih.
Akan tetapi, sebenarnya Don mengalami krisis eksistensi. Dia bermain musik yang dianggap berkelas bagi orang-orang kulit putih, tetapi dia tetap diperlakukan sebagai orang kulit hitam dan tetap mendapat perlakuan yang diskriminatif. Padahal, oleh orang kulit hitam sendiri dia tidak diterima karena berpakaian dan bergaya secara berbeda dengan orang kulit hitam pada umumnya.
Drama pertama
Green Book merupakan film drama pertama bagi sutradara Peter Farrelly. Dia lebih dikenal sebagai sutradara dan produser film-film komedi dan komedi romantis yang laris manis, seperti Fever Pitch, Shallow Hal, Me, Myself & Irene, Stuck on You, There’s Something About Mary”, Kingpin, dan Dumb and Dumber. Biasanya juga dia menggarap film bersama saudaranya, Robert Farrelly. Namun, kali ini, dia menantang diri untuk menggarap sendirian.
Naskah film mulai dikembangkan pada 2016, berbarengan dengan meningkatnya eskalasi rasisme, Islamofobia, dan xenofobia di Amerika seiring dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Ungkapan-ungkapan Trump selama kampanye kerap menyulut sikap rasis dan menyudutkan kaum minoritas. Setelah itu, merebak ekspresi-ekspresi rasisme dalam bentuk grafiti ataupun unggahan di media sosial, seperti #GoBackToAfrica.
Dalam konteks tersebut, film ini menemukan relevansinya. Ia menjadi pengingat bahwa sikap rasis adalah kemunduran. Sebaliknya, jika bergandeng tangan antarsesama tanpa melihat perbedaan suku, ras, dan agama, tantangan dunia akan lebih mudah dihadapi.
Dialog-dialog dalam film ini mendekati peristiwa sesungguhnya karena diceritakan berdasarkan penuturan Frank Anthony Vallelonga kepada anaknya, Nick Vallelonga. Nick tak lain adalah penulis utama naskah film ini. Kepada The Guardian, Nick mengatakan bahwa dia tumbuh bersama cerita pertemanan Tony dan Don. Dia bahkan merekam cerita ayahnya itu lalu mewawancarai Don untuk melengkapinya. Nick bahkan menjamin bahwa karakter ayahnya dalam film tersebut demikian nyata. Bahkan, kata-katanya pun sesuai rekaman dia.
Terima kasih, Nick. Kamu telah mengabadikan narasi pertemanan yang memberi vibrasi kebaikan. Cerita seperti ini perlu dikembangbiakkan untuk melawan rasisme dan klaim kebajikan tunggal. Juga, bahwa pertemanan berlandaskan kemanusiaan dan ketulusan dapat melintasi segala sekat primordialisme.