Penyakit endemi meningkat saat musim hujan tiba. Peran masyarakat, khususnya di lingkup keluarga, sangat menentukan keberhasilan pencegahan berjangkitnya penyakit tersebut.
Pascabencana banjir tahun 2007, di Jakarta Utara pernah dinyatakan kejadian luar biasa diare karena jumlah pasien penderita diare meningkat hingga mengakibatkan kematian. Lima tahun sebelum itu, leptospirosis juga pernah diderita banyak orang saat banjir besar melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya. Bibit penyakit ini ada di kencing tikus. Warga yang terkena bisa mengalami pendarahan spontan, sesak napas, batuk berdarah, hingga kematian.
Pada awal 2019 ini, penyakit lain yang dikenal biasa merebak di tengah musim hujan, yaitu demam berdarah dengue (DBD), kembali muncul. Kini, jumlah pasien DBD di Jakarta per 31 Januari tercatat sudah mencapai 813 jiwa. Bahkan, jumlah kasus DBD tahun ini tertinggi selama tiga tahun terakhir. Pada Januari 2018, jumlah kasus DBD hanya 198 kasus, sedangkan pada Januari 2017 sebanyak 665 kasus.
Dalam jajak pendapat Kompas akhir Januari lalu, hampir sepertiga responden menyatakan dirinya, anggota keluarga, ataupun tetangga sudah terjangkit penyakit-penyakit khas di musim hujan tersebut. Hujan yang menyisakan genangan-genangan air di tempat-tempat terbuka, seperti drum, ember, pot bunga, barang-barang bekas, dan wadah terbuka lainnya, menjadi media bagi tumbuh suburnya jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti penyebab demam berdarah. Hal tersebut, menurut 37,6 persen responden, menjadi salah satu penyebab munculnya penyakit DBD.
Tidak hanya nyamuk, hewan lain, seperti lalat, kutu, dan tikus, juga menyebarkan penyakit melalui kotoran, gigitan, dan cairan tubuhnya atau secara tidak langsung melalui kontaminasi pada makanan.
Leptospirosis, misalnya, masuk ke tubuh manusia melalui kencing tikus yang terbawa air banjir. Sampah sisa banjir yang menumpuk dan menjadi sarang tikus diyakini sekitar 7 persen responden sebagai salah satu sumber penyebab penyakit berbahaya tersebut.
Lebih waspada
Pengalaman warga atas wabah penyakit yang berulang terjadi setiap musim hujan ini membuat mereka lebih waspada. Warga pun belajar dari pengalaman di lingkungan sekitarnya. Sembilan dari 10 responden mengatakan mengetahui penyebab munculnya penyakit tersebut dan sudah melakukan tindakan pencegahan.
Salah satu upaya pencegahan yang sudah dilakukan warga adalah pemberantasan sarang nyamuk. Hal ini dilakukan mengingat kasus demam berdarah dengue mulai merebak pada awal tahun ini dibandingkan penyakit lainnya.
Hampir 6 dari 10 warga menyatakan telah membersihkan tempat-tempat genangan air serta menguras, menutup, dan mengubur tempat-tempat yang rawan bagi berkembang biaknya jentik-jentik nyamuk. Upaya lain untuk membasmi nyamuk adalah dengan melakukan fogging (pengasapan), seperti yang sudah dilakukan sekitar 17 persen responden.
Aktivitas fogging ini umumnya dikelola pemerintah di satuan lingkungan yang kecil, misalnya RT, RW, atau kelurahan. Selain membantu pelaksanaan fogging, pemerintah setempat umumnya melakukan sosialisasi lewat pertemuan rutin di RT/RW atau kader juru pemantau jentik.
Upaya pemerintah setempat tersebut, menurut sekitar seperlima responden, berdampak paling besar dalam mencegah penyakit-penyakit di musim hujan. Keberadaan kelompok ibu-ibu PKK dan komunitas kesehatan juga dinilai berperan besar dalam mencegah penyakit musim hujan menurut 10 persen responden lain.
Sadar berperilaku
Separuh lebih warga juga menilai, upaya pemerintah dalam mencegah berkembangnya penyakit endemi musim hujan sudah efektif dan optimal. Gerakan pemberantasan sarang nyamuk yang rutin dilakukan di tingkat RT hingga aksi kebersihan di jalan dan selokan air yang dilakukan petugas penanganan prasarana dan sarana umum menjadi contoh aksi nyata pemerintah.
Namun, lepas dari dukungan pemerintah, lebih kurang tujuh dari sepuluh warga lain berpendapat bahwa perilaku pribadi mereka sendiri atau keluarga justru paling berdampak besar mencegah penyakit di musim hujan.
Separuh warga dalam jajak pendapat ini juga menyadari, perilaku hidup sehari-hari menjadi faktor penentu utama berkembangnya penyakit di musim hujan ini. Tingginya kesadaran warga tecermin juga dari data Profil Kesehatan DKI Jakarta 2017 yang menunjukkan, hampir 70 persen rumah tangga di Jakarta sudah melaksanakan perilaku hidup bersih sehat. Sebagian dari mereka (12,4 persen responden) juga aktif menyosialisasikan bahaya dan pencegahan penyakit di musim hujan di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka.
Menjaga kebersihan, baik di rumah maupun di lingkungan sekitar, adalah kunci terpenting untuk mencegah berkembangnya penyakit di musim hujan. Dalam konteks tersebut, tak bisa dimungkiri bahwa peran semua pihak, khususnya dimulai dari keluarga, menjadi faktor yang sangat menentukan. Lebih baik mencegah daripada mengobati karena musim hujan belum berhenti. (LITBANG KOMPAS)