115 Rumah Pangan NTT Belum Berpihak pada Orang Miskin
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS- Kehadiran 115 Rumah Pangan Kita yang dibentuk Badan Urusan Logistik Nusa Tenggara Timur belum berpihak pada warga miskin. Rumah pangan ini sebagian besar dinikmati kelas menengah ke atas karena tak bisa diecer kecil dan siapapun bisa membeli. Pola manajemen rumah pangan perlu diubah sehingga rumah pangan tidak sekedar menstabilkan harga pasar, tetapi membantu warga miskin dan tak berdaya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Nusa Tenggara Timur, Marthen Mulik di Kupang, Senin (11/2/2018) mengatakan, berapa pun rumah pangan didirikan Badan Urusan Logistik (Bulog) NTT, tetapi jika cara penjualan dilakukan secara bebas, tidak akan membantu warga miskin.
"Ada kesan, rumah pangan ini didirikan atas kesepakatan Bulog dengan pedagang agar bahan pokok cepat terjual. Perputaran bahan pokok dan arus uang bergerak secara cepat sehingga barang tidak menumpuk di gudang. Tetapi keuntungan di balik penjualan bahan pokok ini, siapa yang nikmati?. Bulog, pedagang, kelas menengah ke atas, atau warga miskin?,"kata Mulik.
Harga bahan pokok dari Bulog relatif murah. Beras misalnya, dari Bulog dijual dengan harga Rp 9.000 per kg, kemudian dijual oleh pedagang ke konsumen dengan harga Rp 11.500 per kg. Gula pasir dijual dengan harga Rp 11.000 per kg, menjadi Rp 12.000 per kg, minyak goreng Rp 11.000 menjadi Rp 12.000 per liter, dan bawang putih dari Rp 22.000 per kg menjadi Rp 23.000 per kg.
Ada kesan, rumah pangan ini didirikan atas kesepakatan Bulog dengan pedagang agar bahan pokok cepat terjual. Perputaran bahan pokok dan arus uang bergerak secara cepat sehingga barang tidak menumpuk di gudang. Tetapi keuntungan di balik penjualan bahan pokok ini, siapa yang nikmati?. Bulog, pedagang, kelas menengah ke atas, atau warga miskin?
Mulik menilai, bagi warga miskin di NTT, berbelanja beras 1 kg dengan harga Rp 11.500 per kg, gula pasir Rp 12.000 per kg, bawang putih Rp 23.000 per kg, dan minyak goreng Rp 12.000 per liter, itu sangat memberatkan. Mereka itu tidak memiliki pekerjaan tetap, pendapatan mereka pun tidak pasti.
Barang-barang itu hanya bisa dijangkau warga kelas menengah ke atas. Mereka bisa memborong barang-barang itu dalam jumlah banyak, kemudian dijual kepada pedagang, atau dijual di daerah yang sulit dijangkaui kendaraan umum. Bahan pokok yang dijual itu, pun naik sampai tiga kali, dibanding harga yang dibeli di Rumah Pangan Kita (RPK). Jika demikian, posisi orang miskin tetap terpinggirkan.
Satuan bahan pokok yang dijual Bulog, sebaiknya dikemas dalam satuan yang lebih kecil seperti 0,5 kg sehingga bisa dijangkaui warga miskin. Dengan kemasan seperti ini, warga yang memiliki uang Rp 5.750 bisa berbelanja beras 0,5 kg. Biasanya warga miskin berbelanja beras dalam jumlah terbatas seperti ini, diprioritaskan bagi anak-anak, yang tidak terbiasa mengonsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, jagung, dan pisang.
Dengan cara ini, kehadiran RPK bisa berpihak pada orang miskin. Jika mereka memiliki uang lebih, mereka bisa berlanja lebih dari 0,5 kg beras, gula pasir, atau bahan pokok lainnya.
Kepala Bidang Humas dan Informasi Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional Nusa Tenggara Timur (NTT), Zulkarnaim mengatakan, program RPK merupakan program nasional. Program ini tidak hanya diprirotaskan bagi orang miskin tetapi bagi seluruh WNI di daerah itu.
"Harga satuan yang ditetapkan Bulog sudah diukur dan dipertimbangkan dengan kemampuan warga miskin. Ini sudah ada penelitian di lapangan sehingga Bulog menetapkan harga tersebut. Tidak mungkin, harga beras Rp 11.500 per kg, sulit dijangkaui warga miskin,"kata Zulkarnaim.
Ia menilai, saat ini harga bahan pokok relatif stabil karena sebagian petani sudah memanen, terutama jenis pangan tertentu seperti jagung dan umbi-umbian. Kenaikan biasanya terjadi menjelang hari raya keagamaan. Stok pangan di tingkat petani atau masyarakat pun masih cukup tersedia.
Para petani pun sedang menikmati hasil panen mereka, terutama jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan pisang. Inilah makanan pokok NTT, yang dikenal sebagai daerah lahan kering.