Dhanang David Aritonang/J Galuh Bimantara/Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan akan mengambil alih proses pengelolaan air dari pihak swasta. Pemprov menilai, selama ini kinerja swasta dalam melayani masyarakat masih belum mencapai target yang diharapkan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, sejak tahun 1998 hingga 2017, tidak ada peningkatan pelayanan signifikan yang dilakukan oleh pihak swasta yaitu Aetra dan Palyja. Berdasarkan data Pemprov DKI, pada tahun 1998, cakupan layanan pengelolaan air sebesar 44,5 persen, sedangkan di tahun 2017 baru mencapai 59,4 persen.
"Padahal targetnya pada akhir 2023, seharusnya sebesar 82 persen. Dengan jangka waktu yang tinggal sebentar lagi, hampir mustahil pihak swasta akan melakukan investasi untuk meningkatkan cakupan layanan," ujarnya di Balai Kota, Jakarta, Senin (11/02/2018).
Anies mengatakan, sejak pihak swasta mengambil alih pengelolaan air pada tahun 1998, pemprov DKI tidak memiliki wewenang untuk meningkatkan pelayanan pengelolaan air. Menurut Anies, jika hingga 2023 pengelolaan air ini tidak diambil alih pemprov, maka rakyat dan negara akan dirugikan.
"Oleh sebab itu telah ada Tim Tata Kelola Air yang telah bekerja selama 6 bulan untuk mempersiapkan pengambil alihan ini, nantinya air akan dikelola oleh PDAM Jaya," ucap Anies.
Menurut Anies, ada sejumlah opsi yang disipkan oleh Pemprov untuk mengambil alih pengelolaan air yaitu dengan cara perdata.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dari Unsur Profesional Nila Ardhianie mengatakan, tim sudah bekerja selama enam bulan. Berdasarkan kajian komprehensif dengan mempertimbangkan aspek hukum, ekonomi, dan keberlanjutan pelayanan, tim mengidentifikasi terdapat tiga opsi kebijakan.
Pertama, membiarkan kontrak selesai sesuai perjanjian kerja sama, yaitu hingga tahun 2023. Konsekuensinya, target cakupan 82 persen pada akhir 2023 akan sulit tercapai dengan meninjau capaian pelayanan oleh swasta selama 20 tahun terakhir.
"Karena waktunya sudah tinggal empat tahun, kecil kemungkinan swasta mau berinvestasi dalam jumlah besar," ujar Nila.
Selain itu, karena kontrak masih berjalan, Pemerintah Provinsi DKI dan PAM Jaya tidak bisa memasukkan dana untuk membantu peningkatan pelayanan mengingat itu tanggung jawab swasta.
Pilihan kedua, pemutusan kontrak secara sepihak. Menurut Nila, kebijakan ini berpotensi mengganggu iklim bisnis di Jakarta dan Indonesia.
Ketiga, pengambilalihan melalui tindakan-tindakan perdata. Tim merekomendasikan opsi ini karena dinilai lebih realistis. Karena itu, Pemprov DKI memilih cara ketiga.
Anggota Tim Tata Kelola Air DKI Jakarta Tatak Ujiyati mengatakan, saat ini kajian tim masih sebatas untuk mengambil alih pengelolaan saja. Pihaknya belum memperhitungkan sampai ke harga tarif air yang harus dibayarkan masyarakat.
"Selain itu, dalam proses ambil alih ini, kami juga perlu memperhitungkan prosedur mana saja yang kerugiannya paling sedikit, seperti biaya pinalti apabila kita putus kontrak di tengah jalan, atau biaya penmbelian saham milik swasta ini masih harus dikaji," katanya.
Tatak menjelaskan, saat ini Pemprov DKI terkendala untuk menambah air baku, memperluas jaringan dan perpipaan karena wewenang pengelolaan air masih dipegang oleh swasta.
"Kamin sudah dua kali kita mengajukan penanaman modal daerah dan dipertanyakan oleh DPRD karena kewenangan pengelolaan air tidak ada di Pemprov sehingga pengajuan ditolak," ujarnya.