Grab Periksa Paksa Ponsel Para Pengendara
MEDAN, KOMPAS – Ratusan pengemudi Taksi Grab berunjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan, Senin (11/2/2019). Mereka menyetop sejumlah mobil dan memeriksa ponsel para pengemudi secara keroyokan.
Langkah itu membuat para pengguna jalan resah. Pengunjuk rasa bahkan memukul mobil pengendara hingga penyok jika tidak berhenti atau tidak mau diperiksa ponselnya.
Ratusan pengemudi taksi Grab yang tergabung dalam Persatuan Mitra Individu Transportasi Online itu berunjuk rasa menuntut agar mitra Grab yang berbadan hukum yakni PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (TPI) ditutup. Mereka merasa dirugikan karena pengemudi TPI dinilai selalu mendapat prioritas untuk menerima pesanan taksi dari penumpang.
Para pengemudi taksi Grab itu berunjuk rasa dengan memarkirkan ratusan kendaraannya di Jalan Pangeran Diponegoro, di depan Kantor Gubernur Sumut. Jalan itu pun lumpuh total. Mobil mereka diparkir memanjang sekitar satu kilometer mulai dari simpang Jalan Sudirman sampai di simpang Jalan KH Zainul Arifin.
Pengunjuk rasa menyampaikan aspirasinya dengan berorasi serta membentangkan spanduk dan poster. Puluhan pengunjuk rasa lalu menyetop dan memeriksa sejumlah mobil pribadi yang melintas. Mereka memaksa sejumlah pengemudi menyerahkan telepon selulernya untuk diperiksa.
Para pengendara yang merupakan pengemudi Grab diminta berhenti dan bergabung berunjuk rasa. Pengunjuk rasa juga tampak memukul mobil para pengendara yang tidak mau berhenti atau tidak mau diperiksa ponselnya. Sejumlah mobil tampak penyok dipukul pengunjuk rasa.
Koordinator aksi David Siagian mengatakan, pendapatan para pengemudi menurun drastis sejak ada pengemudi dari TPI dalam setahun belakangan. Kini mereka hanya bisa mendapat lima pesanan atau sekitar Rp 150.000 per hari. Itu masih harus dipotong biaya bahan bakar minyak dan cicilan kendaraan. “Sebelum TPI beroperasi di Medan, kami bisa mendapat Rp 500.000 per hari,” katanya.
David mengatakan, para mitra TPI selalu diprioritaskan untuk mendapat pesanan penumpang. Jika mengetem di tempat yang sama, para mitra TPI selalu lebih dulu mendapat penumpang. Hal itu diduga dibuat dengan cara pengaturan sistem di aplikasi.
Ketika diterima Gubernur Sumut Edy Rahmayadi di kantornya, David mengatakan, TPI merupakan perusahaan ilegal karena tidak mempunyai izin. Karena itu, ia pun meminta agar Gubernur menutup perusahaan itu.
Edy mengatakan, setiap perusahaan yang ilegal akan ditutup pemerintah. “Kalau ada perusahaan yang ilegal, kami akan tutup meskipun tidak didemo. Untuk masalah ini, kami akan minta dulu semua pihak duduk bersama untuk menjawab persoalan dan menyelesaikan persoalan taksi online secara keseluruhan,” katanya.
Masih ilegal
Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan Sumut Iswar Lubis mengatakan, seluruh taksi daring yang ada di Sumut hingga saat ini masih tergolong ilegal. Perusahaan mitra seperti TPI maupun para pengunjuk rasa yang merupakan pengemudi individu juga tergolong angkutan ilegal karena tidak ada izin usaha angkutan umum dari pemerintah kabupaten/kota dan izin operasional dari pemerintah provinsi.
Iswar mengatakan, sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Khusus, para pengemudi taksi online, baik individu maupun mitra berbadan hukum, harus mempunyai kedua izin tersebut. “Sampai sekarang belum ada satu pun taksi online di Sumut yang sudah mengurus izin,” katanya.
Sampai sekarang belum ada satu pun taksi online di Sumut yang sudah mengurus izin.
Selain mengurus izin, kata Iswar, Permenhub itu memberi kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk mengatur kuota taksi online. Pemprov Sumut pun telah menetapkan kuota 3.500 unit untuk wilayah Medan, Binjai, dan Deli Serdang.
“Namun, kami tidak tahu sampai sekarang berapa jumlah taksi online di wilayah ini. Kami selalu meminta kepada perusahaan aplikasi agar melaporkan jumlah armadanya, tetapi mereka tidak pernah mau memberikan data itu,” katanya.
Menurut Iswar, taksi daring akan selalu berhadapan dengan masalah karena tidak mau diatur oleh pemerintah. Jumlahnya diperkirakan sudah jauh melebihi kuota. “Awalnya taksi online berkonflik dengan taksi reguler, lalu sesama taksi online, dan kini berkonflik dengan perusahaan aplikasinya sendiri,” ujarnya.
Awalnya taksi online berkonflik dengan taksi reguler, lalu sesama taksi online, dan kini berkonflik dengan perusahaan aplikasinya sendiri.
Kepala Bidang Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Dinas Komunikasi dan Informatika Sumut Dedi Irawan mengatakan, mereka sudah berulang kali meminta dasbor atau data lengkap keberadaan taksi daringdari perusahaan aplikasi taksi dan ojek daring seperti Grab dan Go-Jek. Dasbor itu sangat penting untuk mengetahui berapa jumlah pengemudi dan berapa yang beroperasi. Namun, perusahaan itu pun tidak mau memberikan data tersebut.
Manajer Humas Grab Indonesia Andre Sebastian, ketika dihubungi Kompas mengatakan, permasalahan tersebut akan mereka tanyakan dulu ke TPI.