Hotel Indonesia, Pembuktian Negara Baru di Kancah Internasional
Ide membangun Hotel Indonesia dicetuskan Presiden Soekarno, mengingat Jakarta di tahun 1960-an tidak memiliki hotel bertaraf internasional. Kini, Hotel Indonesia tidak saja identik sebagai nama tempat di pusat ibu kota, tetapi juga tersemat kebanggaan bangsa.
Ide membangun Hotel Indonesia dicetuskan Presiden Soekarno, mengingat Jakarta di tahun 1960-an tidak memiliki hotel bertaraf internasional. Kini, Hotel Indonesia tidak saja identik sebagai nama tempat di pusat ibu kota, tetapi juga tersemat kebanggaan bangsa.
“Hotel Indonesia terletak antara Jakarta lama dan Kebayoran. Dari gedung Ramayana wing yang tingginya 52 meter ini, Jakarta terbentang di kaki Anda. Di sebelah selatan, tampak stadion utama tempat Asian Games ke-4 diselenggarakan, berlatar Gunung Salak. Di bawah Anda tampak jalan Jenderal Sudirman dan jalan utama yang menghubungkan Kebayoran dan Jakarta lama\'.”
Kalimat itu tertulis dalam buku acara peresmian Hotel Indonesia 5 Agustus 1962. Buku itu dibagikan kepada para tamu undangan yang datang. Di buku itu juga tertulis kalimat “Hotel Indonesia: A Nation’s Pride”.
Setelah Konferensi Asia Afrika tahun 1955 diselenggarakan di Bandung, Presiden Soekarno banyak menerima tamu kenegaraan. Namun, seiring tamu internasional yang berdatangan, hingga tahun 1960 ibu kota negara belum memiliki hotel berskala internasional. Padahal, saat itu citra Indonesia sebagai negara baru di forum internasional tengah moncer.
“Bung Karno saat itu lalu memanggil tokoh perhotelan dan pariwisata Indonesia Margono Djojohadikusumo. Mereka membahas rencana pembangunan hotel bertaraf Internasional di lokasi yang dekat dengan daerah elite Menteng dan kota satelit Kebayoran Baru,” tutur Arifin Pasaribu (79), pejabat hubungan masyarakat (humas) pertama Hotel Indonesia, Kamis (7/2/2019).
Arifin menjabat sebagai pejabat humas di HI selama 20 tahun sejak tahun 1964-1984. Ia mengalami masa-masa awal operasional hotel yang menjadi kebanggaan Indonesia sejak tahun 1960-an.
Saat itu, hotel yang paling bagus di Jakarta adalah Hotel Des Indes (yang telah dirobohkan dan menjadi kompleks Duta Merlin) di Harmoni, Jakarta Pusat.
Arsitek dan Ketua Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta Bambang Eryudhawan mengatakan, tidak adanya hotel yang representatif di Jakarta menjadi salah satu alasan mengapa KAA tahun 1955 diselenggarakan di Bandung. Saat itu di Bandung ada beberapa hotel bagus seperti Preanger dan Savoy Homann Bidakara Hotel.
“KAA diselenggarakan di Bandung salah satu alasannya karena ada banyak hotel bagus dan gedung pertemuan Merdeka yang bisa muat 1.200 orang lebih. Di Jakarta nggak ada. Itulah yang mengingatkan Bung Karno bahwa Jakarta harus punya hotel berskala internasional,” terang Bambang.
Proses mewujudkan ide membuat hotel berskala internasional dari Presiden Soekarno itu berjalan lambat. Hingga Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Momentum itu mempercepat proses realisasi pembangunan hotel termewah di Indonesia saat itu.
Pembebasan lahan yang akan didirikan bangunan hotel ditangani oleh pejabat istana bernama Sutikno Lukitodisastro.
Arifin Pasaribu dalam buku “Hotel Indonesia: Gagasan Bung Karno, Cagar Budaya Bangsa Dibangun dengan Dana Pampasan Perang Jepang” terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2014, menyebutkan, lokasi tempat Hotel Indonesia sekarang belum punya nama. Jalan-jalan belum diaspal dan tergenang banjir saat hujan hingga kedalaman dua meter atau lebih.
Di sebelah timur bangunan HI ada beberapa rumah elite Menteng. Di sisi barat daerah Kebon Kacang yang sekarang menjadi Hotel Grand Hyatt dan Plaza Indonesia adalah rawa-rawa dan kebun yang ditanami bayam, selada, singkong, ubi, dan seledri.
Kontur tanah masih berupa rawa-rawa membuat pemancangan tiang memakan waktu cukup lama. Bahkan, untuk mendirikan bangunan yang kokoh, tanah seluas 4,6 hektare harus diuruk dengan pasir setinggi satu meter di atas permukaan laut yang memakan waktu lama.
Peletakan batu pertama HI dilakukan oleh Presiden Soekarno pertengahan tahun 1959.
Dana pampasan perang
Anggaran pembangunan Hotel Indonesia berasal dari dana pampasan perang Jepang atau ganti rugi masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945.
Pelaksana proyek adalah PT Pembangunan Perumahan Jakarta dengan subkontraktor Taisei dari Jepang. Bambang Eryudhawan menambahkan, saat itu perusahaan subkontraktor Taisei banyak mendampingi pembangunan HI.
Bahkan, sebagian besar material interior HI juga diimpor dari Jepang.
Hotel seluas 25.082 meter persegi itu dirancang oleh arsitek asal Amerika Abel Sorensen. Hotel Indonesia dibuka dengan 436 kamar dan 15 lantai di dua sayap bangunan yaitu Ganesha dan Ramayana. Bentuk bangunannya menyerupai huruf T.
Karena berlantai 15, HI juga memiliki elevator atau lift pertama di Indonesia. Lift itu hingga saat ini masih ada dan terjaga keberadaannya.
Bambang menjelaskan, Soekarno memilih arsitek asal Amerika karena ragu dengan arsitek dalam negeri yang belum memiliki pengalaman merancang bangunan berskala internasional. Soekarno juga khawatir arsitek dalam negeri tidak bisa menafsirkan gagasannya.
Pemilihan Abel Sorensen sebagai arsitek HI melalui perdebatan sengit. Saat itu, sosok yang cukup berperan memberikan saran kepada Soekarno adalah Direktur Utama PT Pembangunan Perumahan (PP) yaitu David Gee Cheng.
Lokasi hotel bisa dikatakan berada di tempat premium jantung ibu kota. Pada tahun 1962, ketika HI hampir selesai dibangun, patung Selamat Datang mulai dikerjakan. Patung ini mencerminkan keramahtamahan bangsa Indonesia dengan sepasang muda-mudi yang tersenyum seraya melambaikan tangan dan membawa bunga.
Patung ini menyambut tamu-tamu yang datang ke Indonesia, terutama dari Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Kemayoran. Lagi-lagi, ide brilian Bung Karno tercetus atas pembangunan patung ini. Sketsanya dibuat oleh Hermanus Joel Ngantung alias Henk Ngantung. Adapun pembangunan tugu tersebut dibuat oleh seniman patung Indonesia, Edhi Sunarso.
Hotel Indonesia kemudian menjadi hotel bertaraf internasional pertama di Indonesia. HI diresmikan oleh Presiden Soekarno tepat sebelum Asian Games, yaitu 5 Agustus 1962. Pembangunan hotel memang untuk menyambut tamu Asian Games IV, 24 Agustus-4 September 1962.
Tamu kenegaraan
Hotel ini juga memiliki kamar presidential suite yang kerap disewa presiden atau perdana menteri yang berkunjung ke Jakarta. Dari kamar ini, terlihat pemandangan kolam dan patung Selamat Datang di Bundaran HI. Tamu kenegaraan yang pernah menginap di presidential suite hotel ini di antaranya Ratu Maxima dari Belanda dan Presiden Tajikistan Emomali Rahmon.
Kamar seluas 400 meter persegi itu memiliki fasilitas lengkap mulai dari gym, spa, dapur, jacuzzi, ruang rapat, ruang makan, hingga kamar ajudan.
Tarif menginap semalam saat ini dipatok Rp 150 juta. Tahun 1960-an, tarif kamar masih senilai Rp 40.000.
Banyak perubahan
Hotel Indonesia juga sempat direncanakan bergaya tropis dengan prinsip cross ventilation, tanpa penyejuk ruangan (AC). Jendela kamar dibuat sedemikian rupa sehingga udara sejuk dibuat bisa masuk-keluar kamar.
Namun, saat Bung Karno mengecek kamar-kamar di lantai teratas (14), dia tidak sreg dan merasa seperti direbus. Kamar kemudian dirombak lagi dan dipasangi pendingin udara.
Jika Anda berkunjung ke Hotel Indonesia sekarang, bentuk desain interior fisik sudah banyak berubah. Sejak dikelola oleh Grup Djarum dengan skema built, operate, transfer (BOT), ada beberapa perubahan yang terjadi. Salah satunya, jumlah kamar di HI yang semula 436 sekarang menyusut menjadi 289 kamar.
Kolam renang di lantai dasar, yang dahulu sampai 17 kali dibongkar bangunannya oleh Bung Karno, juga sudah tidak ada. Kolam renang itu kini telah menjadi bangunan Menara BCA dan Grand Indonesia Shopping Town. Begitu juga dengan restoran Ramayana yang dulu berkonsep menghadap ke kolam.
Sisa bangunan restoran itu kini hanya berupa kubah kecil yang berdekatan dengan lobi HI Kempinski.
Supaya tetap ingat dengan warisan dan peninggalan sejarah itu, foto-foto dan benda bersejarah tetap disimpan di HI. Foto-foto pemotongan pita peresmian HI, tamu-tamu penting yang datang ke HI seperti karyawan Rockefeller Foundation Allen Alwelt atau petinju Muhammad Ali, dipajang di sepanjang koridor Nirwana Lounge.
Pameran foto itu dimulai sejak perhelatan Asian Games 2018. Pihak hotel berencana memasang foto-foto bersejarah itu secara permanen.
Perabotan di masa peresmian hotel ini seperti gunting yang digunakan untuk memotong pita dan perabotan makan juga dipanjang di etalase kaca hotel.
Selain itu, beberapa bangunan masih dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Misalnya ruangan serba guna, Bali Room. Ruangan berbentuk oval ini masih asli dengan hiasan lampu kristal megah berbentuk oval.
Di bagian depan Bali Room juga terdapat ukiran kayu besar bergambar persawahan berundak-undak Ubud Bali. Hal ini dipengaruhi oleh selera seni bung Karno yang menyukai budaya Bali. Beberapa patung yang dipajang di HI juga menampilkan penari Bali.
Public Relation Executive Hotel Indonesia Kempinski Jakarta Ananda Wondo mengatakan, perubahan di dalam gedung hotel tak bisa terhindarkan untuk menyesuaikan dengan bisnis perhotelan masa kini.
Kamar hotel lama dianggap terlalu sempit dengan interior kuno yang untuk sebagian orang terasa menyeramkan. Kini, kamar-kamar dibongkar untuk membuat ukuran kamar lebih lapang. Perubahan ini juga disesuaikan dengan segmen pasar hotel.
Sekarang, hotel dikelola hotelier tertua di Eropa yaitu Kempinski. Namun, untuk bangunan luarnya, pihak hotel berusaha untuk tetap mempertahankan bangunan aslnya. Apalagi, sejak tahun 1995, di bawah kepemimpinan Gubernur Sutiyoso, Hotel Indonesia dikategorikan bangunan cagar budaya sesuai dengan Undang-Undang Cagar Budaya.
Pihak hotel harus berkoordinasi dengan tim sidang pemugaran dan ahli cagar budaya dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta saat melakukan renovasi dan perawatan hotel, baik warna cat maupun material yang digunakan.
Seluruh perawatan dan renovasi hotel baru bisa dijalankan setelah disetujui oleh tim ahli. “Pemilik (Djarum Group) berkomitmen untuk menjaga hotel yang bersejarah ini. Unsur sejarah yang melekat ini justru menjadi kekuatan hotel kami, banyak tamu yang berminat melakukan historical tour di sini,” papar Ananda.
Karena menyandang nama besar dan perjalanan sejarah bangsa, manajemen hotel berusaha mencerminkan budaya Indonesia yang ramah, senang membantu tanpa imbalan. Sebab, dulu Soekarno berpesan bahwa HI harus menjadi wajah orang Indonesia dengan kekayaan budayanya.
Tur sejarah HI pun ternyata banyak diminati oleh tamu-tamu terutama kalangan ekspatriat dan tamu asing. Mereka kerap datang beramai-ramai untuk mengikuti tur sejarah di HI. Manajemen hotel menganggap unsur sejarah yang melekat di HI adalah hal unik dan pembeda yang tidak dimiliki hotel-hotel lain di Jakarta.