Industri Tekstil Jawa Barat Terpuruk
Masa depan industri tekstil dan turunannya di Jawa Barat dalam ujian besar. Beragam masalah menyelimuti industri penyerap banyak tenaga kerja ini. Butuh solusi bersama untuk mengatasinya.
BANDUNG, KOMPAS - Industri tekstil dan produk tekstil di Jawa Barat terpuruk. Hal itu dipicu upah pekerja yang tinggi, persaingan dengan produk impor, hingga potensi beban biaya pengelolaan limbah.
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar tahun 2018, sebanyak 19 industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tutup akibat tingginya biaya operasionalisasi.
Sementara sembilan perusahaan lainnya direlokasi. Lima perusahaan direlokasi ke Jawa Tengah. Adapun tiga perusahaan lainnya pindah ke Garut dan Majalengka yang upah minimum kota/kabupaten (UMK)-nya lebih rendah.
Sedikitnya 24.000 orang kehilangan pekerjaan. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik Jabar 2018 menyebutkan jumlah industri tekstil dan pakaian jadi di Jabar sebanyak 1.880 unit hingga tahun 2015.
”Industri TPT di Jabar tengah terganggu. Penyebab utamanya upah tenaga kerja yang relatif tinggi,” ungkap Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Jusak Sulaiman di Kota Bandung, Rabu (6/2/2019).
Pada 2019, ada tiga daerah di Jabar yang memiliki upah lebih dari Rp 4 juta. Kabupaten Karawang adalah yang tertinggi, Rp 4,23 juta. Sementara upah tertinggi di Jateng tercatat di Kota Semarang, Rp 2,49 juta.
”Dengan selisih upah di atas Rp 1 juta saja lebih menguntungkan memindahkan industri ke Jateng,” ucapnya. Jusak mencontohkan, jika industri mempunyai 1.000 pekerja, dengan selisih upah Rp 1 juta, pengusaha dapat menghemat Rp 1 miliar per bulan atau Rp 12 miliar per tahun. Dana itu berpotensi bisa membangun pabrik baru.
Butuh komunikasi dan kemampuan negosiasi yang baik agar tidak ada pihak yang dirugikan. Kesepahaman antara serikat pekerja dan perusahaan harus dilakukan.
Pelaksana Tugas Kepala Disnakertrans Jabar Ferry Sofwan Arif mengatakan, tinggi rendahnya UMK berimbas pada ongkos produksi, terutama bagi perusahaan yang bergantung pada pemesanan luar negeri.
Beberapa alternatif pembayaran upah pun dilakukan untuk menyikapi hal ini, salah satunya penetapan upah padat karya (UPK). UPK adalah kebijakan yang mengizinkan perusahaan padat karya memberikan upah lebih rendah daripada UMK.
Ferry menjelaskan, pada tahun 2019, Kabupaten Purwakarta mengajukan UPK. Pengajuan telah disetujui perusahaan dan serikat pekerja. UMK Purwakarta tahun 2019 sebesar Rp 3,72 juta.
Upaya lain yang dilakukan adalah penangguhan upah. Ferry memaparkan, dari 53 perusahaan yang mengajukan penangguhan upah, 60 persen di antaranya adalah perusahaan TPT. Ferry mengatakan, perusahaan-perusahaan itu biasanya memiliki siklus keuangan yang belum pulih akibat menunggu pembayaran order pemesanan luar negeri.
Perusahaan-perusahaan ini berorientasi ekspor. Mereka harus mengirimkan barang dulu baru mendapatkan bayaran penuh.
”Untuk mengantisipasi pindahnya perusahaan padat karya ke daerah lain, kami berencana membangun sentra industri dan perekonomian di Cirebon, Indramayu, dan Majalengka,” katanya.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Nasional Jabar Dede Koswara mengatakan, butuh komunikasi dan kemampuan negosiasi yang baik agar tidak ada pihak yang dirugikan. Kesepahaman antara serikat pekerja dan perusahaan harus dilakukan.
”Para pekerja juga harus lebih sadar kondisi perusahaannya. Kalau perusahaan sudah mengajukan penangguhan upah, pasti ada masalah,” ujarnya.
Akan tetapi, Dede juga meminta perusahaan transparan dengan kondisi itu. Tujuannya agar pekerja dan pemerintah tahu kondisi perusahaan dan ikut memberikan solusi. Petugas pengawas perusahaan di Disnakertrans Jabar, Sudianti, mengatakan, akibat tidak transparan, masih ada simpang siur data tenaga kerja. Padahal, data diperlukan untuk pertimbangan kebijakan dan pengawasan ketenagakerjaan.
Hal itu dilihat dari jumlah perusahaan yang terdaftar dalam sistem daring pelaporan ketenagakerjaan milik Kementerian Ketenagakerjaan atau aplikasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Perusahaan (WLKP). Dari 32.616 perusahaan di Jabar, baru 15.788 perusahaan yang masuk dan melampirkan data pada sistem itu.
Persaingan impor
Persoalan itu semakin pelik saat pengusaha TPT di Jabar dililit persaingan dengan produk impor. Menurut Jusak, produk lokal perlu dilindungi agar tidak kalah bersaing dengan produk impor. Jusak berharap agar barang impor tidak terlalu mudah masuk. Sebab, banyak produk impor, seperti sisa ekspor produk China, harganya jauh lebih murah.
”Persaingan itu akan menyulitkan produk lokal, terutama yang mereknya belum terkenal. Apabila tidak diperbaiki, ke depan akan berpengaruh terhadap daya saing luar negeri,” ujar Jusak.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengemukakan, dukungan kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan. Sebab, dalam tujuh tahun terakhir, ekspor tekstil dan garmen Indonesia ke Amerika Serikat turun 2-3 persen per tahun. Tujuh tahun lalu nilainya 4,8 miliar dollar AS, tetapi pada 2017 tinggal 3,9 miliar dollar AS (Kompas, 26/3/2018). AS adalah negara tujuan utama ekspor tekstil nasional.
Kewajiban pengolahan limbah juga butuh solusi tepat. Jusak menyadari, tugas setiap pengusaha mengelola limbah dengan baik agar tidak mencemari lingkungan. Namun, karena keterbatasan lahan dan dana, pengusaha membutuhkan bantuan pemerintah untuk membuat pembuangan limbah komunal.
Data tim Satuan Tugas Penanggulangan Pencemaran Sungai Citarum Kodam III/Siliwangi menyebutkan, ada 1.900 pabrik di Daerah Aliran Sungai Citarum.
Hampir 90 persen pabrik itu tak punya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sesuai standar. Akibatnya, sekitar 340.000 ton limbah rentan digelontorkan ke Citarum setiap hari.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jabar Deddy Wijaya mengatakan, jika pembangunan IPAL diserahkan kepada tiap pabrik, hal itu memberatkan karena biaya relatif mahal. (TAM/RTG/SEM/IKI)