Orientasi Nilai (1): Inilah Kadar Konservatisme Kita
Skor orientasi di bidang ekonomi sebesar 1,67 atau lebih tinggi daripada rata-rata, menunjukkan bahwa pandangan masyarakat cukup moderat dalam menilai kehidupan ekonomi. Namun, di sisi lain, skor orientasi nilai di bidang sosial berada di indeks 1,52 yang menunjukkan cukup kuatnya tarikan konservatisme dalam mempengaruhi kehidupan sosial.
Sementara itu, skor orientasi nilai di bidang politik berada di indeks 1,61 atau hampir sama dengan total rata-rata tiga bidang (ekonomi, sosial, dan politik). Sehingga, dapat dikatakan orientasi nilai di bidang politik berada di antara dua sisi, relatif lebih moderat daripada bidang sosial tetapi lebih konservatif daripada bidang ekonomi.
Skor orientasi nilai ini dihasilkan dari pengolahan atas serangkaian pertanyaan yang disusun sedemikian rupa untuk menangkap sisi-sisi pandangan konservatif dan moderat dalam tiga ranah, politik, ekonomi, dan sosial. Indikator-indikator yang digunakan meliputi lima aspek: persepsi terhadap ancaman, pandangan terhadap hal-hal baru, tingkat kepercayaan kepada otoritas, sikap terhadap komunitas yang berbeda, dan langkah proteksi terhadap apa yang selama ini sudah dimiliki.
Konservatisme
Konservatisme adalah doktrin politik yang menekankan nilai institusi dan praktik tradisional (Encyclopaedia Britannica). Kaum konservatif lebih mendasarkan diri pada pilihan untuk setia pada warisan historis daripada gagasan-gagasan abstrak dan gambaran ideal yang harus dilakukan menghadapi situasi yang berubah.
Mereka khawatir cetak biru (blueprint ) yang abstrak atau gagasan-gagasan baru dapat menghasilkan bencana, sehingga cenderung menolak pandangan optimistis bahwa kualitas manusia dapat ditingkatkan secara moral melalui perubahan politik dan sosial. Kaum konservatif lebih merasa aman berpegang pada cara-cara lama dalam melakukan sesuatu.
Konservatisme menaruh ketidakpercayaan terhadap sifat manusia, ketidakmenentuan (yang dapat berimplikasi pada terputusnya hubungan sosial), dan inovasi yang belum teruji. Sebaliknya, mereka menaruh kepercayaan pada kesinambungan sejarah yang tak terputus dan kerangka kerja tradisional untuk menjalankan urusan manusia.
Bertumpu pada konsepsi organik masyarakat, mereka berkeyakinan bahwa masyarakat bukan sekadar kumpulan individu yang longgar, tetapi merupakan organisme hidup yang terdiri dari anggota yang saling terkait dan terikat. Karenanya, kaum konservatif menyukai institusi dan praktik yang telah berevolusi secara bertahap, yang merupakan manifestasi dari kesinambungan dan stabilitas.
Tanggung jawab pemerintah dan politisi adalah memastikan keberlangsungan cara hidup yang sudah berjalan, bukan menjadi pemimpin perubahan. Karena itu, dalam pandangan konservatif, politisi harus menahan godaan untuk mengubah masyarakat maupun sistem politik.
Kaum konservatif cenderung berasumsi bahwa manusia didorong oleh hasrat dan keinginan mereka yang secara alami cenderung mementingkan diri sendiri, anarki, irasionalitas, dan suka bertindak kasar. Karenanya, kaum konservatif memandang lembaga-lembaga politik dan budaya tradisional seharusnya berfungsi untuk mengekang basis alamiah dan naluri destruktif manusia.
Kaum konservatif berasumsi bahwa manusia didorong oleh hasrat dan keinginan mementingkan diri sendiri.
Edmund Burke (1729-1797), negarawan Inggris dan peletak dasar konservatisme modern, mengatakan bahwa orang membutuhkan "pengekangan yang cukup terhadap hasrat mereka" dan menjadi tugas pemerintahlah untuk mengekang dan menaklukkan hasrat itu. Oleh karena itu, keluarga, gereja, dan sekolah harus mengajarkan nilai disiplin diri, dan mereka yang gagal belajar disiplin harus dikenakan sanksi oleh pemerintah dan lembaga hukum. Tanpa kekuatan penahan dari institusi semacam itu, kaum konservatif percaya, tidak akan ada perilaku etis dan tidak akan ada penggunaan kebebasan yang bertanggung jawab.
Keengganan terhadap argumen dan teori abstrak tampak dalam upaya mereka menafikan kerja revolusioner atau prinsip liberalisasi. Upaya-upaya para filsuf dan kaum revolusioner untuk merencanakan masyarakat terlebih dahulu, menggunakan prinsip-prinsip politik yang berasal dari akal semata, dipandang keliru oleh kalangan konservatif dan cenderung dicurigai akan berakhir dengan kehancuran. Dalam hal ini temperamen konservatif sangat kontras dengan temperamen moderat atau liberal. Sementara kaum liberal secara sadar mengartikulasikan teori-teori abstrak, kaum konservatif secara naluriah menganut tradisi konkret.
Pengaruh-pengaruh paham konservatif beroperasi secara tidak langsung, selain melalui program-program partai politik, juga karena basis watak manusia pada umumnya secara naluriah konservatif, seperti ketakutan akan perubahan mendadak dan kecenderungan untuk bertindak seperti biasanya. Ciri-ciri ini termanifestasikan lewat perlawanan terhadap upaya-upaya perubahan politik yang dipaksakan, yang dapat mengganggu stabilitas budaya politik sebelumnya. Negarawan Inggris abad ke-17, Viscount Falkland mengatakan, “Jika tidak perlu diubah, untuk apa ada perubahan?”
Modernisme
Modernisme adalah gerakan filosofis yang, bersama dengan tren dan perubahan budaya, muncul dari transformasi berskala luas pada masyarakat Barat selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perkembangan masyarakat industri modern, pertumbuhan kota yang cepat, dan trauma terhadap Perang Dunia I, turut mendorong berkembangnya paham modern. Dunia industri yang penuh dengan hal-hal baru mendorong kebutuhan akan perubahan dalam lingkungan ekonomi, sosial, dan politik.
Berbeda dengan konservatisme, modernisme merupakan tren pemikiran progresif sosial yang menegaskan kekuatan manusia untuk menciptakan, meningkatkan, dan membentuk kembali lingkungan mereka dengan bantuan eksperimen praktis, pengetahuan ilmiah, atau teknologi. Modernisme mendorong pengkajian ulang terhadap setiap aspek realitas, dari perdagangan hingga filsafat, dengan tujuan menemukan apa yang \'menghambat\' kemajuan, dan menggantinya dengan cara-cara baru untuk mencapai hasil akhir yang maksimal.
Modernisme adalah pendekatan radikal yang ingin merevitalisasi cara peradaban modern memandang kehidupan, seni, politik, dan ilmu pengetahuan. Sikap memberontak ini merupakan reaksi penolakan atas budaya Eropa yang dipandang sudah terlalu korup, puas diri dan lesu, sakit, sibuk dengan citra, dan terlalu takut perubahan.
Modernisme merupakan reaksi penolakan atas budaya yang dipandang sudah terlalu korup, puas diri dan lesu.
Dekadensi moral di segala bidang di Eropa membuat para pemikir dan seniman modern mengeksplorasi alternatif lain. Mereka mewujudkan pemikiran-pemikiran baru ini dengan berbagai kegiatan dan kreasi di bidang seni, arsitektur, sastra, agama, filsafat, organisasi sosial, kegiatan sehari-hari, dan ilmu pengetahuan.
Kerangka acuan bertindak yang sudah tidak sesuai lagi dengan tugas-tugas mereka dan ketinggalan zaman, coba ditanggalkan. Sehingga, modernisme merupakan pemutusan radikal dengan masa lalu dan bersamaan dengan itu melakukan pencarian atas bentuk-bentuk ekspresi baru. (BAMBANG SETIAWAN/LITBANG KOMPAS)