Kasasi JPU dan Terdakwa Kasus First Travel Ditolak MA
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum maupun terdakwa kasus penipuan dan pencucian uang biro umrah First Travel ditolak oleh Mahkamah Agung. Putusan kasus tersebut kembali ke putusan di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, akhir Mei 2018 lalu.
Kuasa hukum korban First Travel Luthfi Yazid, Senin (11/2/2019), mengatakan, para hakim agung yang terdiri dari Eddy Army, Margono, dan Andi Samsan Nganro memutuskan menolak kasasi baik yang diajukan JPU mapun para terdakwa bos FT yaitu Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Kiki Hasibuan. Artinya, Direktur Utama PT First Anugerah Karya Wisata Andika Surachman tetap divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subside 8 bulan penjara sesuai putusan PN Depok.
Istrinya yang juga direktur Anniesa Desvitasari Hasibuan divonis 18 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subside 8 bulan penjara. Adapun Siti Nuraidah Hasibuan, atau Kiki Hasibuan, yang menjabat direktur keuangan dipidana 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subside 8 bulan penjara.
Sejumlah aset FT seperti rumah di Sentul City, kantor FT di Jalan Radar AURI, apartemen Bellone Park Fatmawati, rumah di Jalan RTM Kelapa Dua Depok, mobil mewah, dan aset lain dirampas oleh negara.
Adapun aset yang dilimpahkan kepada Perkumpulan Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel (PPPAKFT) justru barang dengan penyusutan tinggi seperti kacamata, ikat pinggang, gaun mahal, dan gorden.
Perampasan aset inilah yang masih menjadi pertanyaan 63.000 calon jamaah umroh yang sudah menyetor uang ke FT. Mereka mempertanyakan tanggung jawab negara dalam kasus ini. Mereka mempertanyakan alasan hakim hanya berpikir legalistik-positivistik dan tidak dapat mewujudkan keadilan yang dituntut masyarakat.
“Mengapa aset FT yang merupakan uang setoran jamaah dirampas oleh negara? Apakah itu uang korupsi sehingga harus dirampas? Kami menyimpulkan bahwa negara, petinggi FT, dan penegak hukum telah mendholimi hak-hak ribuan jamaah,” ujar Luthfi dalam keterangan tertulisnya, Senin malam.
Luthfi menerangkan, sesuai dengan konstitusi UUD 1945, negara wajib menjamin warganya dalam melaksanakan aktivitas keagamaan termasuk umroh. Pelaksanaan aktivitas keagamaan adalah sebuah fundamental rights (hak fundamental) warga. Artinya negara memiliki tanggung jawab terhadap hak-hak publik. Ketika negara lalai melindungi hak fundamental ini, negara dinilai melakukan pelanggaran serius.
Ia juga mempertanyakan mengapa pemerintah memperpanjang izin FT jika pemerintah sudah tahu bahwa perusahaan itu tidak profesional dan tidak sehat secara keuangan. Selain itu, dia juga mempertanyakan fungsi pengawasan pemerintah terhadap Perusahaan Penyelenggara Ibadah Umroh (PPIU).
Luthfi melanjutkan, ketika kasus FT muncul dan para bos FT dijadikan tersangka pemerintah seperti kebakaran jenggot dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Agama, Mabes Polri, dan sebagainya. Namun, satgas dinilai tidak membuahkan hasil yang berkeadilan bagi jamaah. Mabes Polri maupun JPU justru dinilai sangat tidak transparan dalam menyita aset FT.
Hal lain yang kontradiktif adalah, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama No 589 tahun 2017 yang salah satu isi keputusannya adalah mengembalikan seluruh uang jamaah dan atau memberangkatkan jamaah untuk umroh tanpa dipungut biaya tambahan apapun. Namun, sampai sekarang tidak ada bukti dari SK tersebut. Jamaah tidak pernah menerima uang kembali, dan tidak pernah diberangkatkan.
Tim kuasa hukum juga menilai seluruh aset FT adalah uang jamaah, dan bukan uang korupsi. Namun, mengapa putusan di PN Depok mengatakan aset tersebut dirampas dan atau disita Negara. Padahal, aset tersebut tidak berasal dari hasil kejahatan dari uang negara.
“Aset FT adalah aset jamaah, aset publik, kok diambil negara? Di mana logikanya? Inilah kegagalan epistemik (epistemic failure of thought) cara berpikir hakim dalam memahami konsep penyitaan,” tukas Luthfi.
Luthfi juga membandingkan penyelesaian kasus FT dengan kasus PT Lumpur Lapindo di Sidoarjo atau PT Bank Century. Dalam kasus tersebut, negara justru menalangi kerugian dengan cara bailout. Namun, mengapa hal serupa tidak terjadi di kasus penipuan dan pencucian uang F. Korban FT justru lebih banyak dan menyangkut rakyat kecil dengan jumlah kerugian sekitar Rp 900 M.
“Bukankah dalam kasus ini juga dapat diambil analogi saat pemerintah mengambil tanggung jawab melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk uang masyarakat? Sebagai analogi, sebenarnya dapat dipakai konsep restorative justice (meskipun ini konsep pemidanaan untuk anak) oleh negara. Artinya Negara mencarikan solusi dengan memberikan kompensasi misalnya atau mencari jalan keluar agar para jamaah dapat berangkat umroh,” terang Luthfi.
Luthfi menilai keputusan negara dalam kasus ini menjadi preseden buruk. Jika tidak ada reformasi total, baik secara regulasi, institusi, maupun operasional, bukan mustahil hal serupa akan terulang. Kasus ini mencerminkan kegagalan negara melindungi semangat keberagaman warga sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Kuasa hukum lain jamaah FT Rizky Rahmadiansyah saat dimintai konfirmasi mengatakan, pihaknya akan mengambil langkah gugatan perdata untuk merebut aset FT yang dirampas oleh negara. Menurutnya, kasus FT ini lebih tepat jika dilihat sebagai kasus wanprestasi. Karena ada unsur kerugian, negara tidak berhak menyita aset tersebut.
Apalagi, tidak ada unsur kerugian negara dalam hal tersebut. Jika berpatokan pada KUHAP pasal 44, 46, dan 273 ayat 3 aset yang dirampas oleh negara dan dimasukkan dalam kas negara, upaya peninjauan kembali di MA akan percuma karena aset harus segera dicairkan dalam waktu tiga bulan. Jamaah merasa sangat dirugikan dalam hal ini karena kasus ini. Negara justru diuntungkan karena mendapatkan penghasilan di luar pajak.
“Kami akan rebut aset melalui pengadilan dengan gugatan perdata. Minggu ini akan kami layangkan gugatannya setelah merapikan ribuan dokumen,” kata Rizky.