JAKARTA, KOMPAS – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyatakan rancangan undang-undang masyarakat adat yang pernah dijanjikan Presiden Joko Widodo terancam kembali gagal diundangkan. Bila ini terjadi, pembiaran terhadap kriminalisasi dan perampasan tanah dan hutan adat serta diskriminasi terhadap perempuan adat masih belum bisa diakhiri di Indonesia.
Kelompok masyarakat sipil mendesak Presiden untuk memantau dan menagih kinerja pembantu-pembantunya yang lamban dalam menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). Dokumen dari pemerintah ini menjadi syarat bagi legislatif-eksekutif untuk bisa melanjutkan pembahasan RUU Masyarakat Adat yang menjadi inisiatif DPR tersebut.
“Pertemuan terakhir Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Presiden selalu menyatakan agar undang-undang ini dipercepat, sudah keluar Surat Presiden. Kami melihatnya justru ini pembangkangan oleh pembantu-pembantunya dalam menjalankan perintah presiden untuk menyusun DIM,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Pengurus Besar AMAN, Minggu (10/2/2019) di Jakarta.
Surat Presiden tersebut menugaskan Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Menteri Hukum dan HAM.
Menurut Catatan Kompas, penerbitan surpres pernah disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat menghadiri Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Ke-19 yang sekaligus penutupan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara V di Benteng Moraya, Minahasa (Kompas.id, 17 Maret 2018).
Siti Rakhma Mery Herawati, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bagian dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, mengatakan hingga kini informasi terkait DIM tersebut tidak jelas. Ia mengatakan pihaknya telah menyurati kementerian terkait namun seolah-olah malah diping-pong.
Pada Oktober 2018, Koalisi menyurati Sekretaris Negara dan dijawab bahwa DIM telah berada di DPR. Namun ketika koalisi mengecek ke Badan Legislatif DPR, DIM belum ada. Akhir Januari 2019, Koalisi kembali menyurati untuk mempertanyakan kembali terkait DIM dan meminta audiensi kepada Sekneg, tetapi belum direspons.
Ia mengingatkan, waktu untuk membahas dan menghasilkan Undang-undang dalam periode ini telah sangat mepet. Mengingat jadwal para politisi yang akan tersita untuk kampanye dan persiapan Pilpres dan Pileg 17 April 2019, ia khawatir RUU Masyarakat Adat kembali gagal diundangkan setelah pembahasan dalam dua periode pemerintahan.
Hal itu akan menjadi catatan buruk rezim saat ini. Apalagi pada pemerintahan Joko Widodo, RUU Masyarakat Adat sempat tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015 dan 2016. Ini dinilai ironi mengingat Nawacita menyebut pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai komitmen Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Muhammad Arman menegaskan, kunci pembahasan RUU Masyarakat Adat berada di pemerintah yang berwenang mengeluarkan DIM. “Ini soal konsistensi DPR dan pemerintah. Meski waktu sangat mepet, masih bisa kalau dibuat pertemuan marathon. Dari sisi substansi kan masih bisa didiskusikan,” katanya.
Ini soal konsistensi DPR dan pemerintah. Meski waktu sangat mepet, masih bisa kalau dibuat pertemuan marathon. Dari sisi substansi kan masih bisa didiskusikan.
Koalisi pun telah memberikan masukan tertulis kepada DPR terkait draft RUU Masyarakat Adat. Pihaknnya pun dan siap mendiskusikan substansi RUU agar implementatif dan tepat sasaran. Beberapa masukan adalah hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, dan hak untuk berpartisipasi.
Terkait hak perempuan adat ini terkait diskriminasi yang masih dialami dalam kehidupan adat. Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi Perempuan AMAN mencontohkan kasus pemerkosaan yang umumnya berakhir dengan kawin paksa. Contoh lain, praktik potong ruas jari pada perempuan yang mengalami kedukaan.
“RUU Masyarakat Adat salah satu kebijakan yang membuat masyarakat adat masuk dalam kehidupan bernegara. Ketika negara sudah mengakui, adat juga punya kewajiban untuk memastikan tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. Jadi (RUU) tidak hanya menyangkut hak tapi juga kewajiban masyarakat adat,” kata dia.
Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan HuMa – bagian Koalisi – mengatakan masyarakat adat di Indonesia berada dalam pusaran dan rentan konflik sumberdaya alam dan agraria. Perkumpulan HuMA mencatat pada tahun 2018 terjadi 326 konflik sumber daya alam dan agraria di Indonesia. konflik tersebut melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta ha dengan korban 186.631 jiwa.
Sedikitnya 176.637 jiwa adalah korban dari masyarakat adat. Catatan Kiara, pada tahun 2018, setidaknya lima orang dikriminalisasi dan 1 orang meninggal dunia dari masyarakat adat di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat akan berdampak pada semakin lamanya masyarakat adat mendapatkan kepastian hukum, baik statusnya sebagai subyek hukum maupun kepastian hukum atas beragam hak yang melekat pada masyarakat adat. Ketidakpastian ini pun terbayang dari analisa Yayasan Madani Berkelanjutan atas visi-misi kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung 17 April 2019.
Visi-misi Jokowi-Ma’aruf Amin menitikberatkan hanya pada pemenuhan hak hak-hak masyarakat adat tanpa menyebutkan produk hukumnya. Visi-misi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hanya menyebut kearifan lokal tetapi tidak sedikit pun menyinggung masyarakat adat.