Perbedaan Upah Tenaga Kerja Jadi Pendorong Relokasi Pabrik
JAKARTA, KOMPAS – Efisiensi memang selalu menjadi pertimbangan ketika berbicara bisnis. Tak terkecuali persoalan tingginya upah tenaga kerja di wilayah Jawa Barat yang berdampak pada relokasi perusahaan. Peran pemerintah menjadi penting dalam memastikan keberlangsungan usaha agar tetap meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Bagaimana pun kalau pengupahan di suatu daerah itu tinggi dan tidak sesuai dengan produktivitasnya, pasti pelaku usaha akan mencari daerah yang upah minimumnya lebih rendah," kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, saat dihubungi Kompas, Senin (11/2/2019).
Ade menjelaskan, perbedaan antara upah tenaga kerja di Jawa Barat dengan Jawa Tengah bisa lebih dari Rp 1.000.000 per orang setiap bulannya. "Sementara tenaga kerja di setiap pabrik itu rata-rata lebih dari seribu orang. Kalau begini, sebetulnya perusahaan bisa menghemat Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar per bulan. Dalam setahun, mereka bisa membuka pabrik baru," ujarnya.
Pada 2019, ada tiga daerah di Jabar yang memiliki upah lebih dari Rp 4 juta. Kabupaten Karawang adalah yang tertinggi, Rp 4,23 juta. Sementara upah tertinggi di Jateng tercatat di Kota Semarang, Rp 2,49 juta. (Kompas, 11 Februari 2019)
Menurut Ade, sejak tahun 2014 hingga saat ini, sudah ada 120 pabrik di Jabar yang merelokasi usahanya ke Jateng. Sementara dua pabrik merelokasi usahanya ke Vietnam. Semua yang merelokasi usahanya adalah pabrik garmen yang merupakan industri padat karya.
Baca juga: Relokasi Industri Untungkan Jateng
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar tahun 2018, sebanyak 19 industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tutup akibat tingginya biaya operasional. Sementara sembilan perusahaan lainnya direlokasi. Lima perusahaan direlokasi ke Jateng. Sisanya pindah ke Garut dan Majalengka yang upah minimum kota/kabupaten (UMK)-nya lebih rendah.
Pemerintah harus menyadari, saat ini kita sedang dalam pertempuran dan persaingan ekonomi dengan negara-negara di dunia. Ade mengatakan, untuk itu pemerintah harus segera mengubah cara pandang dalam memberikan layanan serta perizinan bagi para investor dan pelaku usaha.
"Penyelenggara negara, investor, dan pelaku usaha harus berfokus pada bagaimana meningkatkan daya saing. Kalau tidak memperhatikan daya saing tentu kita akan kalah. Daya saing ditentukan dari efisiensi dalam hal pelayanan pemerintah dan juga pengelolaan perusahaan," papar Ade.
Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar tahun 2018, sebanyak 19 industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tutup akibat tingginya biaya operasional.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani juga menyampaikan hal senada. Relokasi terjadi akibat kenaikan upah yang tidak sebanding dengan produktivitas dari tenaga kerja.
"Tenaga kerja memang masih menjadi persoalan. Inilah mengapa para investor serta pelaku usaha merelokasi ke daerah yang upahnya lebih rendah agar menjadi lebih efisien dan tetap berdaya saing," tutur Hariyadi.
Produktivitas
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyampaikan, persoalan tingginya upah minimum provinsi berkait erat dengan kebijakan. Menurutnya, aturan tentang ketenagakerjaan saat ini masih saling tumpang tindih dan kompleks.
"Tak dipungkiri, Indonesia kini masih mempersoalkan upah minimum dan tumpang tindih biaya yang terkait dengan ketenagakerjaan. Seharusnya, upah tenaga kerja itu disesuaikan dengan produktivitasnya," ujar Enny.
Dengan keadaan seperti ini, Enny menilai lebih baik untuk membuat aturan baru yang lebih sederhana, namun menjamin adanya perlindungan tenaga kerja dan kepastian berusaha. Kedua hal inilah yang dinilai penting untuk diharmonisasikan.
"Hubungan industrial antara pelaku usaha dan tenaga kerja itu kan ranahnya bisnis. Sementara tugas negara adalah menjamin agar tidak terjadi ketidakadilan. Bukan mengatur hingga rinci terkait pengupahan. Sebab, yang tahu produktivitas tenaga kerja adalah perusahaan," tutur Enny.
Kesiapan wilayah
Akibat dari reloksi industri di Jabar, sedikitnya 24.000 orang harus kehilangan pekerjaan. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik Jabar 2018 menyebutkan jumlah industri tekstil dan pakaian jadi di Jabar sebanyak 1.880 unit hingga tahun 2015.
Kendati demikian, Enny mengatakan, apabila relokasi berjalan dengan baik, maka akan terjadi distribusi penduduk. "Selama ini kan masyarakat hanya tertarik kepada kota-kota besar, yaitu Jakarta dan kota di sekitarnya," katanya.
Maka, kalau ada relokasi pusat kegiatan industri, sebenarnya akan mendorong penyebaran dari penduduk dan tenaga kerja. Menurut Enny, dengan cara ini, orang akan berpindah tanpa paksaan yang akhirnya dapat menimbulkan pusat kegiatan ekonomi baru.
Namun, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang hubungan internasional Shinta Kamdani mengingatkan, jika tidak dipersiapkan secara matang, maka bencana pengangguranlah yang akan terjadi. Ia mengatakan, saat ini daerah Jabar yang UMP-nya tinggi sebetulnya belum sepenuhnya siap untuk beralih ke industri dengan nilai tambah.
Shinta menjelaskan, industri padat karya yang upah buruhnya relatif kompetitif dan mau bayar upah yang tinggi antara lain industri perjalanan dan industri kreatif, perbankan dan keuangan, serta penelitian dan pengembangan. Sementara untuk industri padat modal antara lain industri kimia dasar, informasi teknologi, dan transportasi.
"Masalahnya, banyak daerah yang belum siap di level itu, namun sudah cepat-cepat menerapkan upah tinggi. Maka yang harus segera dilakukan, yaitu meningkatkan kompetensi tenaga kerja, membenahi infrastruktur untuk mendukung sektor jasa, dan tata kelola pelayanan yang prima," ujar Shinta.
Lebih lanjut, apabila hal ini benar diterapkan oleh industri di Jabar, Shinta menilai akan ada nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara untuk industri di Jateng, pemerintah daerah didorong untuk membuat Master Plan Ekonomi yang jelas, yaitu mencakup potensi ekonomi yang dimiliki serta adanya fokus prioritas pengembangan dari potensi tersebut.
"Selain itu, perlu ada strategi promosi dan pemasaran. Dukungan kualitas kebijakan seperti peraturan daerah, peraturan kepala daerah, serta keputusan kepala daerah juga harus diperhatikan," papar Shinta.
Poin penting lainnya adalah bagaimana merawat investasi yang masuk dengan memberikan pelayanan dalam berbagai aspek operasional perusahaan. Enny menuturkan, cara ini sekaligus mempromosikan bahwa pemerintah mampu menjaga keberlangsungan usaha.
(SHARON PATRICIA)