JAKARTA, KOMPAS — Peredaran berita bohong atau hoaks menjadi masalah serius saat ini. Selain jumlahnya yang kian meningkat dan materi berita tersebut bersinggungan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan, hal ini juga dapat memicu perpecahan bangsa karena lemahnya kesadaran masyarakat untuk memvalidasi setiap informasi yang diterima.
Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan, pada era disrupsi, masyarakat dihadapkan pada tantangan besar di mana peredaran hoaks semakin masif, bahkan tak terkendali. Situasi itu semakin rumit karena kesadaran memindai setiap informasi yang diterima tidak muncul, bahkan langsung disebarluaskan begitu saja. Moeldoko menyebut fenomena itu sebagai revolusi jari.
”Jari kita terus bermain tanpa sadar yang kita bagikan adalah hoaks. Secara konsisten, ini akan terjadi post truth. Kebenaran sudah tak menjadi penting dan akhirnya pembenaran menjadi dikedepankan. Sebagian besar dari kita kehilangan logika. Ini sungguh berbahaya,” ujar Moeldoko dalam Rapat Koordinasi Nasional Kehumasan dan Hukum Tahun 2018, di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Setidaknya ada 1.400 peserta dari bidang kehumasan dan hukum di 514 kabupaten/kota dan 34 provinsi hadir dalam rakornas itu. Hadir pula dalam acara tersebut Ketua Komisi II DPR Zainuddin Amali, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Moeldoko menjelaskan, hilangnya kewaspadaan itu bisa berimplikasi pada eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi, lanjut dia, berdasarkan data survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), sebesar 88,4 persen berita bohong terkait dengan isu SARA.
”Kalau (fenomena) ini tidak diwaspadai, sumber perpecahan (bangsa) kita ada di situ. Kita bisa menuju pada the point of no return, setelah kita berantakan baru kita sadar bahwa kita telah rusak,” tutur Moeldoko.
Karena itu, menurut Moeldoko, peredaran hoaks harus disikapi secara tegas, yakni melalui penegakan hukum atau law enforcement. ”Harus ada upaya law enforcment, tak peduli siapa pun dia. Jika harus dipenjarakan, penjarakan saja karena bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Hoaks meningkat
Dalam kesempatan yang sama, Rudiantara juga menyebutkan, peredaran hoaks semakin masif menjelang Pemilihan Umum 2019. Selama Januari 2019 saja, Kominfo telah mendeteksi lebih dari 70 hoaks. Jumlah itu mengalahkan angka total hoaks yang terjadi selama 2018 yang berjumlah sekitar 60 hoaks.
”Ini baru satu bulan dan perkiraannya akan meningkat. Kami terus melakukan penyisiran,” ujar Rudiantara.
Peredaran itu semakin mengkhawatirkan jika melihat infrastruktur digital Indonesia yang menduduki posisi keempat terbesar di dunia. Sebanyak 150 juta masyarakat Indonesia telah mengakses internet dan 130 juta di antaranya bermain media sosial.
Rudiantara mengakui, sulitnya menangkal hoaks lantaran penyisiran informasi memerlukan proses verifikasi yang panjang. Kominfo harus memverifikasi informasi yang beredar di masyarakat kepada pakar yang lebih memahami isunya.
Namun, upaya menekan peredaran hoaks tidak hanya dilakukan melalui penyisiran informasi. Menkominfo menyebutkan ada tiga langkah, mulai dari hulu, menengah, hingga hilir.
Di hulu, masyarakat diminta turut aktif mengawasi peredaran hoaks dengan melaporkan temuan itu kepada Kominfo. Literasi digital di masyarakat, terutama kalangan milenial, juga terus digenjot melalui tim siber kreasi pemerintah.
Pada tahap menengah ada proses edukasi antihoaks melalui situs antihoax.id yang dimuat oleh Kominfo. Di situ masyarakat dapat memahami arti hoaks, jenis hoaks, berikut contoh hoaks yang tersebar di dunia maya.
Terakhir di hilir adalah penegakan hukum. ”Jadi tiga tahap ini harus berjalan beriringan agar intensitas hoaks tidak semakin besar,” tutur Rudiantara.
Tjahjo Kumolo juga mengingatkan agar aparatur sipil negara (ASN) harus ikut turut menyaring informasi yang beredar. Secara khusus bagi ASN yang bergerak di bidang kehumasan, lanjut Tjahjo, mereka harus mampu ikut membantu meluruskan informasi salah yang kerap beredar di masyarakat dan menyebarluaskannya kembali menjadi informasi yang jernih serta valid.