Revisi Perjanjian dengan Pakistan Terganjal Etanol
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi perjanjian dagang antara Indonesia dan Pakistan terganjal persetujuan DPR. DPR menolak mengesahkannya karena revisi ini juga memuat soal importasi produk alkohol (etil-alkohol atau etanol).
Meskipun sudah ada Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2018 yang turut mengatur perubahan Perjanjian Dagang Preferensial (Preferential Trade Agreement/PTA) antara Indonesia dan Pakistan atau IP-PTA, persetujuan DPR tetap dibutuhkan. Persetujuan itu masuk dalam protokol perubahan IP-PTA.
Dalam rapat kerja dengan Kementerian Perdagangan, Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno menyimpulkan, pihaknya membutuhkan pertemuan dan pembahasan lanjutan dengan Majelis Ulama Indonesia, kementerian teknis, dan asosiasi terkait. ”Komisi VI menyoroti ada potensi pelonggaran produk alkohol dengan perubahan IP-PTA,” ucapnya di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Komisi VI DPR mengkhawatirkan, perubahan tarif masuk produk alkohol (disebut juga etil-alkohol atau etanol) menjadi nol persen dapat memperbesar usaha minuman keras di dalam negeri. Peredaran yang tidak bertanggung jawab pun berpotensi pada peningkatan kasus oplosan.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana menggarisbawahi pentingnya jaminan peredaran produk alkohol ini agar digunakan secara bertanggung jawab. Dia menambahkan, potensi meningkatnya impor produk alkohol akibat perubahan IP-PTA juga disoroti pelaku usaha, terutama produsen produk yang sama.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengklarifikasi, produk alkohol yang diberi keringanan tarif bea masuk dalam perubahan IP-PTA itu merupakan bahan baku untuk industri sabun, kosmetik, dan obat-obatan. ”Kami juga masih memberlakukan bea cukai sebesar 150 persen. Sebagai kontrol, impor (produk alkohol) ini memerlukan rekomendasi penggunaannya,” katanya.
Kehilangan surplus
Jika tidak meratifikasi protokol perubahan perjanjian IP-PTA, Enggartiasto memaparkan, Indonesia berpotensi kehilangan surplus neraca perdagangan dengan Pakistan. Pada 2017, surplusnya tercatat 2,15 miliar dollar AS.
Selain itu, Indonesia juga berpotensi kehilangan kesempatan meningkatkan ekspor dan daya saing produk di Pakistan. Salah satu komoditas yang terancam ialah minyak kelapa sawit.
Kementerian Perdagangan memperkirakan, dengan perubahan IP-PTA, nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia pada 2022 dapat mencapai 2,94 miliar dollar AS. Namun, jika ada terminasi IP-PTA, nilai ekspor pada 2022 hanya berkisar 1,48 miliar dollar AS.
Perdagangan bebas
Dalam rapat kerja yang sama, Komisi VI DPR menyetujui persetujuan keterlibatan Indonesia dalam perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement) antara Hong Kong dan ASEAN atau AHK-FTA disahkan dalam peraturan presiden. Teguh menyatakan, Komisi VI menilai, AHK-FTA tidak menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang terkait dengan beban keuangan negara.
Negosiasi Indonesia untuk AHK-FTA dimulai sejak Juli 2014 dan selesai pada 2017. Enggartiasto mengatakan, Indonesia menandatangani AHK-FTA pada 12 November 2017. Perjanjian dagang ini mulai berlaku pada triwulan kedua 2019.
Dengan ratifikasi persetujuan AHK-FTA, Kementerian Perdagangan memprediksi, ekspor Indonesia ke Hong Kong akan meningkat 6,7 persen tiap tahun. Sebaliknya, impor Indonesia dari Hong Kong diperkirakan naik 6,5 persen per tahun.