Safe Migrant Batam Tuntut Penegak Hukum Adil dan Kedepankan Nurani
BATAM, KOMPAS – Jaringan Peduli Migran, Perlindungan Perempuan dan Anak (Safe Migrant) Kota Batam, menggelar aksi damai di depan Kantor Pengadilan Negeri Kota Batam, Kabupaten Kepulauan Riau, Senin (11/2/2019). Dalam aksi tersebut, mereka menyampaikan pernyataan sikap terkait kasus perdagangan orang yang tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Batam.
Koordinator Safe Migrant Sudirman Latief saat dihubungi dari Padang, Senin sore mengatakan, aksi damai itu dilakukan terkait kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan dua terdakwa yakni J Rusna selaku Direktur PT Tugas Mulai, salah satu perusahaan tenaga kerja di Batam dan Paulus Baun, pekerja lapangan.
Kasus ini bermula ketika Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKP-PMP) Kepulauan Riau (Kepri), melapor ke Kepolisian Daerah Kepri terkait dugaan kasus TPPO yang melibatkan dua orang tersebut. Korban adalah MS (16), asal Mollo Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
MS awalnya datang ke Batam atas ajakan Paulus Baun yang merupakan pamannya pada 24 Februari 2016 atau ketika ia masih berusia 14 tahun. MS dibawa ke Batam dan diserahkan ke J Rusna. Dari sana, MS kemudian dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Sayangnya, selama dua tahun bekerja, MS tidak mendapatkan upah sesuai yang dijanjikan.
MS mengadu ke orang tua dan kemudian ditindaklanjuti dengan laporan ke Polda Kepri. Paulus Baun dan J Rusna ditetapkan sebagai tersangka pada Juli 2018. Setelah sempat buron, keduanya berhasil ditangkap dan disidang.
Baca juga : Modus Tindak Pidana Perdagangan Orang Makin Canggih
Paulus Baun lebih dahulu diproses dan disidangkan pada 2018. Dia dituntut jaksa 4 tahun penjara dengan menggunakan Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hakim juga memvonis bersalah Paulus Baun dengan hukuman empat tahun penjara.
Selanjutnya, pada Selasa (29/1/2019), pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan, jaksa menuntut J Rusna pidana penjara 1 tahun 6 bulan.
“Kami kaget dengan tuntutan jaksa itu. Sebagai orang yang diduga pelaku utama, justru tuntutannya lebih rendah dari Paulus Baun. Selain itu, tuntutan itu di bawah tuntutan minimal seperti yang diatur dalam UU Nomor 21/2017 yakni minimal 3 tahun penjara. Termasuk dalam UU Perlindungan Anak,” kata Sudirman.
Menurut Sudirman, hal itu yang kemudian membuat Jaringan Safe Migrant bergerak. Sebelum aksi hari ini, mereka telah membuat pernyataan sikap yang dikirim ke Kejaksaan Agung dengan tembusan ke Mahkamah Agung, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
“Kami kaget dengan tuntutan jaksa itu. Sebagai orang yang diduga pelaku utama, justru tuntutannya lebih rendah dari Paulus Baun. Selain itu, tuntutan itu di bawah tuntutan minimal seperti yang diatur dalam UU Nomor 21/2017 yakni minimal 3 tahun penjara. Termasuk dalam UU Perlindungan Anak.” (Sudirman)
Tujuh tuntutan
Dalam aksinya, Jaringan Safe Migrant yang terdiri dari delapan lembaga yakni Rumah Faye, KKPPMP, Yayasan Embun Pelangi, Lintas Nusa, Dunia Viva Wanita, Gerakan Hati Nurani Anak, Layanan Informasi Bantuan Advokasi Kemanusiaan, dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyampaikan tujuh tuntutan.
Sudirman menyebutkan, selain menyatakan keprihatinan terhadap tuntutan bagi J Rusna, mereka juga menyampaikan dukungan kepada Pengadilan Negeri Kota Batam sebagai lembaga yang memeriksa dan memutuskan kasus pengadilan dalam hal ini kasus TPPO dengan terdakwa J Rusna.
“Kami juga mendesak pengadilan untuk mengedepankan integritas yang jujur, adil, profesional, dan menggunakan hati nurani berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam menegakkan hukum dan memutus perkara perdagangan orang,” kata Sudirman.
Baca juga : Eksploitasi dan Perdagangan Orang Terus Jadi Ancaman
Tuntutan lain adalah mengutuk semua praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan pengadilan manapun, terutama terhadap oknum yang merusak citra pengadilan dalam memutuskan perkara dengan “bermain mata” dengan para pelaku TPPO.
“Kami juga mengajak seluruh masyarakat Indonesia dan Batam khususnya untuk bekerjasama memberantas tindak pidana perdagangan orang yang adalah kejahatanluar biasa dan kejahatan kemanusiaan," terang Sudirman.
Selain itu, mereka juga mengajak semua lapisan masyarakat Kota Batam menjadikan Batam sebagai kota bermartabat dengan pengadilan yang bersih serta berani menegakkan hukum dan memberantas mafia perdagangan orang.
Sudirman menambahkan, aksi damai yang diikuti sekitar 40 orang tersebut berjalan lancar. Aksi berlangsung selama satu jam dimulai dengan berjalan kaki sejauh 500 meter menuju kantor Pengadilan Negeri Batam.
“Kami dicegat masuk ke dalam, sehingga aksi hanya sampai pintu gerbang. Selain menyampaikan pernyataan sikap, kami juga melakukan aksi menutup mulut dengan lakban dan uang,” kata Sudirman.
Masih tinggi
Menurut Sudirman, kasus yang menimpa MS menambah jumlah kasus perdagangan orang di Batam. Meski tidak bisa menyebutkan angka, Sudirman mengatakan kasus perdagangan orang di Batam masih tinggi dan sangat mengkhawatirkan.
“Posisi Batam yang strategis menjadikannya pintu masuk sekaligus transit untuk aktivitas perdagangan orang. Selain warga lokal, yang banyak menjadi korban adalah dari luar Batam atau Kepulauan Riau,” kata Sudirman.
“Posisi Batam yang strategis menjadikannya pintu masuk sekaligus transit untuk aktivitas perdagangan orang. Selain warga lokal, yang banyak menjadi korban adalah dari luar Batam atau Kepulauan Riau.” (Sudirman)
Baca juga : Mafia Perdagangan Orang Sulit Diungkap
Polda Kepri juga terus mengungkap kasus serupa. Pada Sabtu (9/2/2019) lalu misalnya, anggota Sub Direktorat IV Reserse Kriminal Umum Polda Kepri mengungkap kasus prostitusi daring dan TPPO.
Dalam keterangan pers di Batam, Senin sore, Kepala Sub Dit IV Ditreskrimum Polda Kepri Komisaris Dhani Catra Nugraha didampingi Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kepri Komisaris Besar S Erlangga, mengatakan, kasus itu terungkap setelah penyelidikan selama tiga bulan.
Dalam pengungkapan tersebut, petugas menyamar dengan memesan pekerja seks komersial (PSK) di salah satu laman daring dan berhasil menangkap AS. AS ditangkap bersama satu korban yang dibawa AS dari Jakarta. Korban tersebut diduga dibawa ke Batam untuk dijadikan PSK.
Menurut Dhani, dari hasil penyelidikan, AS diketahui telah memperdagangkan sejumlah orang, yakni RS (19) asal Pangandaran Jawa Barat, NJ (20) asal Cirebon Jawa Barat, VR (20) asal Purwakarta, Jawa Barat, MAF (32) dan L (19) asal Medan, Sumatera Utara, FH 932) asal Jakarta, dan WAW (23) asal Jawa Tengah.
Dhani menambahkan, atas perbuatannya, AS dijerat Pasal 2 UU Nomor 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman minimal 3 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara dan atau Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 19/2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11/2018 tentang Informasi dan transaksi juntopasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.