Sopir truk logistik mengatur siasat untuk memperlancar perjalanan hingga tujuan. Sebagian sopir memilih jalur nontol dalam kondisi normal di sepanjang pesisir pantai utara atau pantura Jawa. Langkah ini dilakukan untuk menghindari beban biaya tarif tol yang dinilai mahal. Ruas tol hanya digunakan sopir jika mereka membawa muatan berlebih karena tidak ada petugas yang akan memeriksa bawaan mereka.
Diiringi musik dangdut koplo dan segelas kopi yang hampir menyisakan ampas, Muslian (27), sopir truk asal Cirebon, masih menunggu orderan sekaligus surat jalan untuk mengirim logistik ke Semarang. Hampir 4 jam truknya diparkir di sekitar Jalan Raya Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (10/2/2019).
”Ya, bisa cepat dapat orderan, bisa lama juga seperti sekarang,” kata Muslian, yang menjadi sopir truk ketika berumur 19 tahun.
Selama delapan tahun menjadi juru mudi truk pengantar logistik, Semarang adalah kota yang paling sering ia singgahi. Jalur pantura adalah rute favoritnya ketimbang masuk ruas tol yang sekarang sudah terhubung dari Merak hingga Surabaya.
Ia tetap memilih ruas jalan pantai utara meski harus mengeluarkan uang bahan bakar minyak (BBM) sekitar Rp 1,7 juta. Namun, biaya itu lebih rendah jika masuk ruas tol karena selain harus membayar uang tol, ia juga harus mengeluarkan uang BBM.
”Saya harus bayar dua kali lipat jika masuk jalan tol. Lebih baik bayar uang solar saja. Selain itu, jalur pantura juga nyaman karena sekarang banyak mobil dan bus melewati ruas tol,” kata Muslian yang mendapat upah borongan sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp 2,8 juta. Hasil bersih yang ia peroleh hanya sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 setelah dipotong uang makan, pungli, dan BBM.
Muslian tidak sendiri, ada banyak sopir truk lain juga lebih memilih ruas nontol daripada ruas tol Trans-Jawa. Seperti Suhada (39), sopir truk asal Serang, Banten, yang menggunakan ruas tol jika mengirim barang ke Cibitung dan lokasi industri di sekitaran Kabupaten Bekasi dan ke Merak.
Namun, jika mengirim barang ke Majalengka, Semarang, atau sekitar Jawa Tengah, Suhada lebih memilih jalur pantura. ”Kalau hanya sekitaran Cibitung, Karawang, saya masih sanggup bayar tol Rp 100.000. Tetapi, kalau menuju Jawa Tengah, ya, enggak kuat saya. Lebih baik jalur pantura saja, bisa lebih hemat sedikit,” katanya.
Suhada dan sopir lain mengatakan, setelah mendapat upah borongan, semua biaya pengiriman ke lokasi menjadi tanggungan para sopir. Tidak ada uang tambahan. Karena itu, penghasilan yang diterima bisa jauh berkurang dari awal upah borongan. Namun, sesekali Suhada mendapat bonus Rp 100.000 dari perusahan. Jumlah yang tidak besar, Suhada tetap bersyukur.
”Wajar jika kami memilih jalur pantura karena tak perlu bayar mahal tol. Selain itu, jalur pantura juga nyaman dilalui. Mobil dan bus beralih ke ruas tol, jadi jalur nontol bisa jadi milik kami.
Suhada, Muslian, dan para sopir truk lainnya sangat berharap ada kenaikan upah borongan dan biaya tol dapat diturunkan agar tidak memberatkan beban para sopir truk.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Kyatmaja Lookman mengatakan, masuk ruas tol memang sangat memberatkan bagi para sopir truk, pengusaha truk, dan perusahaan logistik. Lewat tol memang bisa memangkas jalur dan irit BBM. Namun, selama barang yang dikirim bukan barang ekspor atau barang sensitif, jalur nontol tentu menjadi alternatif agar tak mengeluarkan uang lebih.
”Tol memang mahal, tetapi tidak merugikan bagi para sopir dan justru menguntungkan karena ruas tol banyak dipakai bus dan mobil. Sopir truk dapat menggunakan jalur nontol. Tidak semua truk harus melalui ruas tol. Kecuali, barang yang dikirim adalah barang ekspor, itu harus lewat tol karena jika gagal, ekspor akan lebih mahal lagi pengeluaran,” kata Kyatmaja, Senin (11/2/2019).
Dilematis
Terkait dengan upah borongan yang diterima para sopir, menurut Kyatmaja, sulit rasanya menambah upah borongan karena beban investasi truk, seperti onderdil dan lain-lain, terus naik. Sementara ongkos kepada pelanggan tidak naik.
Ia mengatakan, ongkos produksi yang mahal tidak hanya dirasakan oleh sopir truk, para pengusaha juga terkena imbasnya. Ia berharap ada formulasi penyelenggaraan angkutan truk yang jelas dan formulasi ongkos yang layak. Mahalnya tarif tol untuk truk akhirnya juga berdampak pada mahalnya ongkos produksi.
Permasalahan tak hanya sampai di situ. Dengan alasan untuk memotong biaya produksi, para sopir harus membawa barang melebihi muatan. Suhada mengatakan, meski para sopir dapat bayaran lebih, risiko keselamatan bisa mengancam sopir.
”Mau tak mau harus dikirim, mau bagaimana? Belum lagi jika ditilang, justru sopir yang kena getah. Semua menjadi rugi. Barang bisa diturunkan. Jika enngak mau diturunkan, kami harus bayar lebih dari dompet sendiri pula. Belum lagi risiko kecelakaan,” lanjut Suhada.
Kyatmaja tidak menampik ada praktik perusahaan atau pengusaha yang sengaja mengirim barang melebihi kapasitas truk atau kelebihan dimensi untuk memotong biaya produksi. Selain membahayakan keamanan pengemudi, kapasitas truk juga bisa dikenai sanksi atau bisa menciptakan praktik pungli. Akhirnya yang dirugikan adalah para sopir dan tentu berimbas kelainnya.
”Biasanya untuk menghindari petugas karena kelebihan muatan, para sopir memilih masuk ruas tol,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiadi mengatakan, truk dengan dimensi dan muatan berlebih menyalahi aturan. Namun, selama ini dibiarkan oleh petugas. Akibatnya, banyak jalan yang rusak, sementara keselamatan pengguna jalan tidak terjamin dan biaya logistik pun menjadi mahal. Pemerintah menyatakan komitmennya menegakkan hukum terhadap truk dengan dimensi dan muatan berlebih (Kompas, 11/2/2019).
Dalam Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, pelaku modifikasi kendaraan bisa dituntut maksimal satu tahun penjara dan denda Rp 24 juta. (AGUIDO ADRI)